Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Antara Emisi, Pajak, dan Transaksi Karbon

Kompas.com - 02/02/2023, 09:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini, Indonesia sedang diterpa masalah emisi karbon dunia yang makin meningkat eskalasinya.

Sebagai negara yang mempunyai hutan tropis terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo- melansir World Resources Institute dan Global Forest Review, pada 2002 hingga 2020- Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia.

Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brasil dengan angka pembabatan hutan tropis mencapai 9,7 juta hektar.

Penelitian Departemen Teknik Sipil di University of Hongkong and Southtern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan yang berlebihan.

Kehilangan simpanan karbon hutan tropis di seluruh dunia naik 0,97 miliar ton per tahun pada 2015-1019, menjadi 1,99 miliar ton per tahun.

Menurut riset The Nature Conservancy di jurnal Nature Sustainability tahun 2021, gambut Indonesia -khususnya di Kalimantan dan Papua- punya simpanan karbon yang amat besar.

Demikan pula mangrove sebagai habitat karbon biru, yang luasnya seperempat mangrove dunia. Kawasan pesisir Indonesia menyimpan cadangan karbon besar, 3-5 kali cadangan hutan daratan yang terlebat.

Hutan sekunder mangrove juga dinilai menyimpan karbon 54,1- 182,5 ton per hektar.

Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu oleh emisi karbon di atmosfer.

Penyebab terbesar emisi karbon adalah alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan. Perubahan fungsi hutan menjadi non kehutanan menyumbang 48 persen emisi karbon.

Menyusul karbon dari transportasi 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen dan sektor industri 3 persen.

Krisis iklim menambah parah bencana kelaparan. Sepuluh titik pusat krisis iklim terparah adalah Afghanistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Nigeria, Somalia dan Zimbabwe. Bagaimana dengan Indonesia?

Krisis iklim di Indonesia dampaknya terasa dengan berubahnya pola cuaca. Tidak terdeteksi lagi batasan antara musim hujan dan kemarau.

Bulan September 2022 lalu, mestinya Indonesia memasuki puncak musim kemarau dengan indikator munculnya titik api (hot spot) di Kalimantan dan Sumatera. Namun faktanya kemarau kali ini adalah kemarau basah yang membawa hujan.

Memasuki tahun 2023, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meramalkan bahwa kemarau tahun ini datang lebih cepat dan panjang dibandingkan dengan 2022.

Oleh karena itu, dihimbau para pihak agar mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di daerah yang menjadi langganan adanya kabut asap yang sering terjadi di saat musim kemarau.

Krisis iklim ini juga sedikit banyak akan mengganggu ketahanan pangan Indonesia, di tengah mahalnya harga pangan global. Ketahanan pangan harus menjadi prioritas pemerintah demi menjaga pemerataan dan kesejahteraan rakyat.

Indonesia beruntung sebagai negara tropis mempunyai hutan tropika basah sangat luas (120,3 juta hektar) yang menjadi benteng krisis iklim yang kokoh.

Syaratnya adalah kawasan hutan tropis tersebut dapat dijaga dan dikelola secara lestari (sustainable), laju deforestasi dapat dikendalikan dan deforestasi dapat ditangani dengan segera dan baik.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com