Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom Sebut Program Gas Murah Berisiko Bikin Defisit APBN

Kompas.com - 24/04/2024, 18:00 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, adanya tensi geopolitik global dan risiko fluktuasi nilai tukar bisa menjadi ancaman bagi perekonomian di seluruh dunia. Josua bilang, Indonesia sebagai salah satu importir minya perlu untuk mengantisipasi potensi yang terjadi.

“Pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang tidak berdampak luas dan bahkan dapat menjadi ancaman bagi sektor industri lainnya. Seperti program harga gas murah untuk industri atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT),” kata Josua Rabu (24/4/2024).

Josua bilang, kebijakan yang dilahirkan untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020 dan ditujukan kepada 7 sektor industri ini akan semakin memberatkan keuangan negara jika dilanjutkan dalam situasi seperti saat ini.

”Kebijakan subsidi HGBT ini sebenarnya ditujukan untuk masa Covid-19, dimana perekonomian tidak berjalan normal,” jelasnya.

“Kondisi saat ini, perekonomian sudah pulih dari Pandemi Covid-19. Dengan demikian, kami melihat pemerintah perlu menseleksi kembali industri-industri yang memang memiliki manfaat terhadap masyarakat banyak untuk dapat menerima HGBT,” lanjut Josua.

Baca juga: Soal Gas Murah buat Industri, Menperin: Selama Perpresnya Masih Ada, Program HGBT Tetap Jalan

Josua menambahkan, penerapan HGBT mengurangi potensi penerimaan negara, di tengah tekanan tambahan belanja subsidi pemerintah akibat naiknya impor BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah.

“Implementasi kebijakan HGBT ini dapat meningkatkan defisit APBN. Kami menilai penerapan HGBT sebaiknya dikaji kembali, dengan mempertimbangkan kondisi pemulihan di setiap industri, jumlah pemanfaatannya, dan dampaknya terhadap masyarakat luas,” ujar Josua.

Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan risiko twin deficit seiring menurunnya neraca perdagangan. Ini adalah kondisi dimana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Februari 2024, surplus neraca perdagangan barang Indonesia turun 1,13 miliar dollar AS secara bulanan menjadi 0,87 miliar dollar AS dibandingkan Januari 2024 sebesar 2,02 miliar dollar AS. Penerimaan negara juga dikhawatirkan akan menurun karena normalisasi harga-harga komoditas.

Baca juga: PGN Belum Lakukan Penyesuaian Harga Gas Industri Non-HGBT, Ini Alasannya

 


Di satu sisi, sektor industri meminta supaya program HGBT dilanjutkan sebagai langkah antisipasi meningkatnya tensi geopolitik global akibat serangan Iran ke Israel. Meski begitu, industri migas juga perlu dipertimbangkan keberlangsungannya sebagaimana industri lainnya.

”Kami menilai tensi geopolitik saat ini lebih bersifat temporer sehingga tidak tepat untuk menjadikannya momentum untuk melanjutkan HGBT. Selain itu, kondisi geopolitik ini pun berpengaruh terhadap seluruh dunia, dengan demikian berbagai industri di dunia lain menghadapi hal yang sama yakni peningkatan biaya energi,” lanjut dia.

Josua menilai, mendorong daya saing industri melalui kebijakan HGBT ini kurang tepat. Peningkatan daya saing industri harus dapat didorong ke arah yang lebih fundamental, seperti peningkatan teknologi produksi, efisiensi biaya produksi, penurunan biaya berusaha ataupun penurunan biaya logistik sehingga biaya produksi lebih murah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com