Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Nilai Aturan Baru Pajak Rawan Disalahgunakan

Kompas.com - 21/09/2017, 08:14 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menilai aturan baru penegakan hukum pajak dapat dilihat sebagai upaya menyempurnakan sistem perpajakan di Indonesia.

Namun, Kadin melihat aturan baru itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017, memiliki celah rawan disalahgunakan oleh para petugas pajak, terutama terkait Pasal 5 peraturan tersebut.

"Ada satu potensi dispute," ujar Rosan, usai acara dialog pajak dan bea cukai di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (20/9/2017).

Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa nilai harta bersih non kas ditentukan oleh Ditjen Pajak. Sementara di dalam pelaporan harta, nilai harga ditentukan oleh wajib pajak lantaran prinsip self assesment.

Self assesment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan berlaku.

(Baca juga: Aturan Baru Pajak, Siapa yang Jadi Sasaran Prioritas?)

Menurut Rosan, perbedaan cara menghitung harta itu akan membuat petugas pajak dan wajib pajak memiliki perhitungan masing-masing. Hal ini dinilai menjadi potensi persekongkolan antara kedua belah pihak.

"Nanti terjadi tawar menawar. Kami inginnya ada kepastian sehingga tidak ada ruang untuk terjadi persekongkolan ini," kata Rosan.

Kadin, tutur dia, berharap agar Direktorat Jenderal Pajak melakukan identifikasi lebih dalam terkait Pasal 5 PP 36 Tahun 2017. Kadin juga menunggu adanya penjabaran lebih lanjut dari Ditjen Pajak terkait hal itu.

Sementara terkait penerapan penegakan hukum pajak, Rosan berharap agar pemeriksaan Ditjen Pajak memprioritaskan wajib pajak yang belum ikut tax amnesty. Hal itu untuk memenuhi asas keadilan bagi wajib pajak yang ikut tax amnesty.

PP 36 Tahun 2017 dikeluarkan pemerintah sebagai tindak lanjut Undang-Undang Pengampunan Pajak, terutama Pasal 13 dan Pasal 18 terkait dengan perlakuan perpajakan.

Pasal itu menyatakan bahwa harta yang tidak dilaporkan dalam Surat Pelaporan Harta (SPH) dan atau Surat Pemberitaan Tahunan (SPT) pajak, maka akan dianggap sebagai tambahan penghasilan.

Dalam PP 36 Tahun 2017, pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) final untuk harta yang dianggap sebagai tambahan penghasilan tersebut.

Tarif PPh finalnya yaitu 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu, 25 persen untuk wajib pajak badan, dan 30 persen untuk wajib pajak orang pribadi.

Tak hanya itu, wajib pajak juga akan terkena sanksi administrasi perpajakan sebesar 200 persen dari total pajak penghasilan atas harta tersebut sesuai amanat Pasal 18 UU Pengampunan Pajak.

Kompas TV Direktorat Pajak mengingatkan masyarakat atau wajib pajak untuk melaporkan harta kekayaan, termasuk telepon seluler.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com