Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini agar Indonesia Terbebas dari "Middle Income Trap"

Kompas.com - 12/04/2018, 16:18 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

BATAM, KOMPAS.com - Indonesia saat ini berada dalam kategori negara berpenghasilan menengah tingkat bawah (lower middle income country). Posisi Indonesia tersebut sejajar dengan India, Vietnam, Filipina, dan Ukraina.

Sementara itu, beberapa negara tetangga Indonesia sudah masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah tingkat atas (higher middle income country). Negara tersebut antara lain China, Malaysia, Thailand, Argentina, dan Brasil.

Ada kekhawatiran Indonesia bakal terjebak dalam status negara berpenghasilan menengah tingkat bawah tersebut, atau dikenal dengan istilah middle income trap. Dengan kondisi tersebut, Indonesia akan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

"Saat ini kita mencoba untuk keluar dari jebakan middle income," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo dalam media briefing rapat koordinasi (rakor) pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BI di Hotel Radisson Batam, Kepulauan Riau, Kamis (12/4/2018).

Baca juga: Berinovasi dan Keluar dari ?Middle Income Trap?

Untuk dapat terhindar dari jebakan negara berpenghasilan menengah tingkat bawah, sebut Dody, maka neraca perdagangan dan neraca berjalan Indonesia harus dalam kondisi surplus. Adapun saat ini, neraca perdagangan maupun neraca berjalan Indonesia dalam kondisi defisit.

"Harus masuk ke level dalam neraca perdagangan atau neraca berjalan paling tidak ada di level defisit minimal atau masuk ke level surplus," sebut Dody.

Ia menyebut, dalam 3-4 tahun terakhir, kedua neraca Indonesia tersebut selalu defisit. Meskipun demikian, defisit pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran Indonesia dalam posisi yang dapat ditoleransi dan level sehat.

"Tetapi, kalau refer (merujuk) ke beberapa negara peers, untuk negara dapat keluar dari middle income (trap), neraca harus surplus," ungkap Dody.

Semakin surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara akan lebih kuat, berkesinambungan, dan inklusif. Pendapatan per kapita pun akan meningkat.

"Kalau neraca transaksi berjalan selalu defisit meski tolerable (dapat ditoleransi), pertumbuhan ekonomi 7-8 persen bisa saja terkendala karena impor selalu besar," ujar Dody.

Untuk itu, maka Indonesia harus mengembangkan industri manufaktur berbasis ekspor. Pada saat yang sama, industri tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pada Februari 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 0,12 miliar dollar AS. Hingga periode tersebut, neraca perdagangan Indonesia tiga kali mengalami defisit secara berturut-turut sejak akhir 2017 lalu.

Sementara itu, neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit sebesar 17,3 miliar dollar AS pada tahun 2017. Angka ini setara dengan 1,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Kompas TV BPS merilis neraca perdagangan Indonesia di bulan Februari 2018.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bangun Ekosistem Energi Baru di Indonesia, IBC Gandeng 7 BUMN

Bangun Ekosistem Energi Baru di Indonesia, IBC Gandeng 7 BUMN

Whats New
Apple hingga Microsoft Investasi di RI, Pengamat: Jangan Sampai Kita Hanya Dijadikan Pasar

Apple hingga Microsoft Investasi di RI, Pengamat: Jangan Sampai Kita Hanya Dijadikan Pasar

Whats New
Bank DKI Raup Laba Bersih Rp 187 Miliar pada Kuartal I 2024

Bank DKI Raup Laba Bersih Rp 187 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Mendag Zulhas Terbitkan Aturan Baru Soal Batasan Impor, Ini Rinciannya

Mendag Zulhas Terbitkan Aturan Baru Soal Batasan Impor, Ini Rinciannya

Whats New
Microsoft Komitmen Berinvestasi di RI Senilai Rp 27,54 Triliun, Buat Apa Saja?

Microsoft Komitmen Berinvestasi di RI Senilai Rp 27,54 Triliun, Buat Apa Saja?

Whats New
Allianz Syariah Tawarkan Asuransi Persiapan Warisan Keluarga Muda, Simak Manfaatnya

Allianz Syariah Tawarkan Asuransi Persiapan Warisan Keluarga Muda, Simak Manfaatnya

Whats New
Kini Beli Sepatu Impor Tak Dibatasi, Ini Penjelasan Mendag

Kini Beli Sepatu Impor Tak Dibatasi, Ini Penjelasan Mendag

Whats New
TransNusa Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

TransNusa Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Whats New
Suku Bunga BI Naik, ST012 Dinilai Lebih Menarik

Suku Bunga BI Naik, ST012 Dinilai Lebih Menarik

Earn Smart
Kesejahteraan Buruh Tani Era Jokowi dan Tantangan bagi Prabowo

Kesejahteraan Buruh Tani Era Jokowi dan Tantangan bagi Prabowo

Whats New
3,84 Juta Penumpang Naik LRT Jabodebek pada Kuartal I 2024

3,84 Juta Penumpang Naik LRT Jabodebek pada Kuartal I 2024

Whats New
Merger Tiktok Shop dan Tokopedia Dinilai Ciptakan Model Belanja Baru di Industri Digital

Merger Tiktok Shop dan Tokopedia Dinilai Ciptakan Model Belanja Baru di Industri Digital

Whats New
Lowongan Kerja Perum Damri untuk SMA/SMK, Ini Persyaratan dan Cara Mendaftarnya

Lowongan Kerja Perum Damri untuk SMA/SMK, Ini Persyaratan dan Cara Mendaftarnya

Work Smart
IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Asia, Ada Apa?

IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Asia, Ada Apa?

Whats New
Tak Mau Kejadian Nasabah Lempar Piring Saat Ditagih Kredit Terulang, PNM Kini Fokus Lindungi Karyawannya

Tak Mau Kejadian Nasabah Lempar Piring Saat Ditagih Kredit Terulang, PNM Kini Fokus Lindungi Karyawannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com