Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Risiko Krisis 2030, Stabilisasi Rupiah Perlu Dilanjutkan

Kompas.com - 10/09/2018, 17:59 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam upaya melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan berbagai upaya.

Beberapa upaya tersebut antara lain melakukan mandatori penggantian bahan bakar solar dengan biodiesel 20 persen (B20), meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di berbagai lini industri, juga menerapkan Pajak Penghasilan pasa 22 (PPh pasal 22) untuk menekan impor.

Direktur Utama PT Bahana TCW Investment Management Edward Lubis mengapresiasi berbagai langkah pemerintah tersebut agar momentum pertumbuhan ekonomi terus berlanjut. Namun, dirinya menilai pemerintah juga perlu mewaspadai risiko krisis tahun 2030 akibat adanya kemungkinan masyarakat Indonesia lanjut usia yang tidak sejahtera di tahun tersebut.

“Langkah yang cepat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi menjadi suatu krusial untuk mencegah risiko krisis pada tahun 2030, di mana ada ketakutan risiko krisis akibat ‘growing old before growing rich’ pada tahun 2030 sesuai Laporan Bank Dunia tahun 2014,” ujar Edward melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (10/9/2018).

Dia menjelaskan, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tersebut, upaya pemerintah harus dilengkapi dengan peningkatan kecakapan finansial masyarakat yang menjadi semacam langkah awal agar masyarakat Indonesia memiliki kecukupan pembiayaan di masa tua. 

"Perbaikan defisit transaksi berjalan memang tepat untuk pengendalian rupiah melalui produktivitas sektor riil. Krisis 2030 dapat dicegah dengan peningkatan produktivitas asset warga negara," jelas Edward.

Adapun saat ini, pelemahan mata uang rupiah dan mata uang negara berkembang lain terhadap dollar AS, disebabkan keluarnya aliran modal asing (capital outflow) yang selama ini sangat dibutuhkan untuk membiayai defisit neraca berjalan (refinancing risk). 

Hal ini disebabkan kenaikan suku bunga negara-negara maju dan pengetatan likuiditas oleh bank sentral Amerika Federal Reserve (The Fed), seiring dengan membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.

"Berakhirnya suku bunga rendah adalah kenyataan new normal yang harus dihadapi," jelas Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat . 

Namun, Budi menjelaskan, likuiditas global masih tetap melimpah. Hal ini terlihat dari yield atau imbal hasil obligasi di sejumlah negara maju yang rendah. Misalnya, obligasi 10 tahun di Jepang sebesar 0,14 persen dan Jerman 0,4 persen. 

Sementara itu, negara berkembang harus menaikkan yield obligasi dan membayar lebih mahal untuk membiayai defisit neraca berjalan. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com