Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sengketa yang Melibatkan Perusahaan-perusahaan asal China Diprediksi akan Meningkat

Kompas.com - 29/10/2018, 21:05 WIB
Bambang P. Jatmiko

Penulis

HONG KONG, KOMPAS.com – Ambisi China untuk “mengekspansi” negara lain melalui proyek ambisius Belt and Road Initiative atau One Belt One Road (OBOR) tak cuma mendatangkan harapan mengenai naiknya perekonomian negara-negara yang menjadi sasaran program ini.

Lebih dari itu, akan muncul banyak dispute atau sengketa hukum yang muncul antara perusahaan asal China dengan partnernya di negara lain.

Belt and Road Initiative merupakan strategi pembangunan yang diadopsi oleh Pemerintah China dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan investasi di berbagai negara. Wilayah yang tercakup dalam proyek ini meliputi 68 negara yang berada di Eropa, Asia dan Afrika. Area tersebut mencakup 65 persen populasi dunia dan 40 persen GDP global per 2017.

Melalui Belt and Road Initiative, China sebenarnya tak sekedar ingin mengembangkan pengaruhnya di luar negeri. Lebih dari itu, melalui proyek besar ini, pemerintah negara Tirai Bambu itu juga mendorong perusahaan-perusahaan yang ada di negara itu untuk go international. Mereka didorong untuk melakukan ekspansi di negara lain.

Meskipun membuka peluang pertumbuhan ekonomi di negara lain, besarnya cakupan program Belt and Road Initiative tersebut  juga berpotensi memunculkan sengketa antara perusahaan asal China dengan partner bisnisnya.

Sejauh ini sudah ada sejumlah masalah yang muncul terkait dengan proyek besar dari China tersebut. Salah satunya seperti yang terjadi di Sri Lanka.

China terpaksa mengambil alih infrastruktur pelabuhan yang dibiayainya yakni Pelabuhan Hambatota karena negara tersebut tak mampu membiayai utang yang telah dikucurkan. Total utang yang tak bisa dibayar tersebut mencapai Rp 1,1 triliun atau setara dengan 70 persen saham di pelabuhan tersebut.

Tak hanya di Sri Lanka, masalah terkait dengan China juga terjadi di Malaysia. Sebagaimana diketahui, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad membatalkan mega-proyek kereta cepat East Coast Rail Link (ECRL) serta pembangunan pipa gas di Sabah senilai total 20 miliar dollar AS. Proyek-proyek tersebut didanai oleh China.

Ke depan, masalah serupa akan lebih banyak bermunculan seiring dengan semakin ekspansifnya China menjalankan program ambisius tersebut.

Secretary-General of Hong Kong International Arbitration Centre Sarah Grimmer menuturkan besarnya potensi sengketa inilah yang harus diantisipasi oleh negara-negara lain yang menjadi mitra bisnis China. Sehingga memilih yuridiksi untuk layanan mediasi dan arbitrase menjadi satu hal yang akan sangat membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait kerjasama dengan mitra dari China.

Salah satu yang selama ini menjadi pilihan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah Hong Kong.

Satu Negara Dua Sistem

Sebagai negara yang menganut dua sistem, Hong Kong memiliki posisi yang unik. Di satu sisi negara ini adalah bagian dari China. Namun di sisi lain, Hong Kong memiliki sistem ekonomi, sosial dan hukum yang terpisah.

“Sistem hukum di Hong Kong benar-benar netral dan terpisah dari China.Menyelesaikan sengketa di arbitrase Hong Kong juga lebih efisien. Ditambah lagi, para profesionalnya memahami betul kultur bisnis masyarakat China daratan,” kata Sarah, Senin (29/10/2018).

Kondisi itulah yang menyebabkan semakin banyak pihak yang menjalin kerja sama dengan China, memilih Hong Kong sebagai tempat untuk penyelesaian sengketa. Hal itu tecermin dari  jumlah sengketa yang ditangani oleh Hong Kong International Arbitration (HKIA) yang terus mengalami peningkatan.

Mengutip situs www.beltandroadglobalforum.com, sejak inisiatif tersebut diluncurkan pada 2013, jumlah sengketa yang ditangani oleh HKIA naik sekitar 20 persen per tahun dengan total sengketa mencapai 362 kasus. Dari jumlah itu, sekurang-kurangnya satu pihak yang terlibat sengketa berasal dari yuridiksi Belt and Road Initiative.

Di samping itu, jumlah perusahaan asal China yang mulai mempercayakan penyelesaian masalah sengketa ke HKIA juga mengalami kenaikan. Pada tahun 2014, dari keseluruhan pihak-pihak yang bersengketa di HKIA, hanya 11 persen di antaranya berasal dari China daratan. Namun pada 2017, persentase tersebut naik menjadi 25 persen.

Hal itu mencerminkan naiknya kepercayaan BUMN-BUMN serta perusahaan swasta dari China untuk menyerahkan penyelesaian masalah di HKIA.

Inilah yang kemudian membuat Hong Kong cukup percaya diri untuk menawarkan layanan penyelesaian sengketa hukum terkait dengan program Belt and Road Initiative

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com