Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prabowo Sebut Rasio Pajak Masa Orde Baru hingga 16 Persen, Benarkah?

Kompas.com - 24/11/2018, 13:19 WIB
Yoga Sukmana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto mengkritik tax ratio, atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto saat ini yang masih di bawah 11 persen.

Dia mengatakan, tax ratio Indonesia saat ini lebih rendah dibandingkan era Orde Baru yang bisa sebesar 14 persen-16 persen. Hal itu disampaikannya saat pidato di Indonesia Economic Forum di Shangrilla Hotel, Rabu, 21 November 2018.

Namun menurut Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, tax ratio era Orde Baru (kurun 1990-1998) dan sebelumnya, tak pernah lebih tinggi daripada tax ratio selama era Reformasi.

Sebelum ke data, ada baiknya memahami lebih dulu tax ratio. Yustinus membagi tax ratio dalam dua arti yakni arti sempit dan luas.

Dalam arti sempit, tax ratio adalah rasio penerimaan pajak yang hanya dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca juga: Rasio Pajak Kecil, Prabowo Anggap Indonesia Perlu Belajar dari Zambia

Sementara dalam arti luas, tax ratio adalah rasio penerimaan pajak ditambah penerimaan bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sumbardaya alam (SDA). Artinya penerimaan negara yang tidak hanya berasal dari DJP.

Nah, dalam arti sempit, Yustinus mengatakan bahwa tax ratio  era Orde Baru tak pernah lebih besar dari era Reformasi. Ia sendiri sudah melakukan riset terhadap nota keuangan dan APBN.

"Bahkan lebih rendah dibanding tax ratio 2017 (arti sempit). Ingin mencapai 16 persen tentu sah dan baik, tapi tanpa peta jalan dan strategi yang tepat, justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru," ujarnya Sabtu (24/11/2018).

Dalam arti sempit, tax ratio RI  tahun 2012 mencapai 9,70 persen, kemudian 9,65 persen (2013), 9,32 persen (2014), 9,19 persen (2015), 8,91 persen (2016), dan 8,47 persen (2017).

Adapun tax ratio pada tahun 2005 tax ratio mencapai 10,76 persen dan tahun 2001 sebesar 9,63 persen.

Sementara itu dari hasil pelacakan dari Nota Keuangan dan APBN (Kemenkeu), tax ratio 1990-1998 berturut-turut sebesar 6,19 persen (1990), 6,72 persen (1991), 7,31 persen (1992), 7,30 persen (1993), 7,68 persen (1994), 8,20 persen (1995), 7,86 persen (1996), 8,03 persen (1997), dan 6,05 persen (1998).

Ditarik mundur lebih ke belakang, tax ratio Indonesia pada 1972 mencapai 7,33 persen, kemudian 6,70 persen (1980), dan 5,25 persen (1984).

Arti luas

Adapun dalam arti luas, data tax ratio era Orde Baru dinilai masih samar. Menurut dia, perhitungan tax ratio dalam arti luas baru dimulai pasca Reformasi.

Oleh karena itulah perhitungan tax ratio saat ini lebih dalam arti luas sehingga persentasenya lebih besar dari tax ratio arti sempit. Sebab tak hanya sebatas penerimaan pajak DJP, namun juga Bea Cukai dan PNBP SDA.

Formula ini sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Meski demikian kata dia, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com