"Menurut saya ini bukan (hanya) pertaruhan tapi pembuktian, kalau tidak terbukti 2018, ya wassalam di (Pilpres) 2019," ujarnya dalam acara diskusi di Kantor Indef, Jakarta, Jumat (18/8/2017).
Dari sisi target pertumbuhan ekonomi, pemerintahan mematok target 5,4 persen di 2018. Angka ini menurut Indef merupakan angka minimal agar Presiden bisa "jualan" di Pilpres 2019 mendatang.
Bila angka pertumbuhan ekonomi dipatok di bawah 5,4 persen, maka tutur Enny, angka pengangguran, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan tidak akan turun. Hal itu tentu situasi yang tidak diinginkan oleh Presiden.
Dosen Kebijakan Ekonomi Indonesia FEB-UI Berly Martawardaya juga melihat adanya indikasi bersih -bersih neraca di RAPBN 2018. Pertumbuhan belanja pemerintah disusun lebih lambat dari belanja negara.
Hal ini membuat defisit anggaran hanya Rp 326 triliun atau 2,19 persen dari PDB, lebih rendah dari 2017 yang mencapai Rp 397 triliun. Besaran utang pun dibuat lebih kecil hanya Rp 399 triliun, turun Rp 62,1 triliun dari APBN Perubahan 2017.
"Kami lihat ada sedikit perbaikan di sini, walaupun harus beri lampu senter terhadap asumsi makro khususnya di pertumbuhan dan inflasi," kata Berly.
Target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada 2018 dinilai terlalu besar. Butuh kerja sangat keras untuk mencapai target ekonomi tersebut. Sebab tutur Berly, sudah 6 kuartal pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5,01-5,2 persen.
Bahkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen pada tahun ini terbilang berat. Sebab semester I-2017, ekonomi hanya tumbuh 5,01 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi semester II-2017 harus mencapai 5,4 persen.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/18/154743926/rapbn-2018-pertaruhan-jokowi-menuju-pilpres-2019