Sistem batu kapur digunakan dalam proses Flue Gas Desulfurization (FGD). Sistem itu dinilai mampu menurunkan tingginya kandungan sulfur dioksida.
Dalam PLTU, batu bara memerankan peran utama karena digunakan sebagai bahan bakar untuk menghidupkan boiler.
General Manager PLN Pembangkitan Tanjung Jati B, Ari Basuki mengatakan, FGD batu kapur digunakan karena terbukti dapat membersihkan emisi sulfur hingga 98 persen.
FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batu bara dengan zat pengikat agar kandungan sulfur dioksida yang dilepaskan ke atmosfer menjadi rendah.
"Zat pengikat PLTU biasanya air laut. Tapi kami satu-satunya PLTU di Indonesia yang menggunakan teknologi batu kapur sehingga aman dan ramah lingkungan," kata Ari, Rabu (23/8/2017).
Kebanyakan PLTU menggunakan air laut sebagai langkah menurunkan emisi sulfur batubara. Air laut juga terbukti cukup efektif menurunkan emisi hingga 90 persen. Namun, batu kapur dinilai lebih efektif lagi dalam menurunkan emisi sulfur hingga mencapai tingkat kebersihan hingga 98 persen.
PLN menjamin bahwa kualitas udara di sekitar PLTU ini masuk kategori aman dan berkualitas.
"Investasi batu kapur dalam FGD ini biayanya besar, yaitu 11-14 persen dari capital cost jika dibandingkan dengan air laut yang hanya 7-10 persen," kata dia.
Untuk pemasangan peralatan FGD, PLTU mengeluarkan kocek lumayan besar. Satu unit FGD untuk satu unit pembangkit berkapasitas 2x710 MW mencapai Rp 1,5 Triliun.
Melalui pemasangan itu, sambung dia, emisi gas batubara dari PLTU Tanjung Jati B sangat rendah di angka 100 mg/m3. Sementara batas mutu untuk emisi gas batubara saat ini yaitu 750 mg/m3.
"Jadi upaya kami tidak hanya memenuhi regulasi pemerintah, tapi melampaui standar global. Kami ingin menjadi pemain kelas dunia”, tambahnya.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/23/191000526/pltu-jepara-tekan-emisi-sulfur-dengan-teknologi-batu-kapur