Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Tukang Ojek di Puncak Jaya, Tarif Tinggi tapi Bertaruh Nyawa

Tujuh bulan sudah ia meninggalkan istri dan anak-anaknya di kampung halamannya, Jember, Jawa Timur, untuk mencari nafkah di distrik yang berada di ketinggian sekitar 2.500 meter dari permukaan laut itu. 

"Sekarang untuk makan aja susah, apalagi untuk pulang (ke Jember)," ujarnya.

Siang itu, matahari di Kotamulia memang cukup terik. Namun hawa dingin dari pegunungan Papua tetap jadi menu yang dominan. Hanya saja, hal itu tak cukup membendung keluh kesah Hasan yang sudah terlanjur tumpah.

Sebelum nekat berangkat ke Puncak Jaya, Hasan sempat bekerja sebagai penimbang besi di Surabaya. Namun tempat ia bekerja justru bangkrut. Kondisi itu membuatnya mencari pekerjaan lain.

Namun, usia yang sudah menginjak kepala lima membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan di Jawa. Tawaran untuk mengadu nasib di Papua pun ia terima setelah diajak teman-temannya.

"Soalnya ada teman-teman yang sukses (ngojek) di sini," tuturnya.

Tujuh bulan lalu, saat menginjakkan kakinya di Puncak Jaya, Hasan ingin membuktikan kebenaran cerita teman-teman kampungnya yang lebih dulu datang ke Kotamulia dan sukses bekerja sebagai tukang ojek.

Benar saja, awalnya semua berjalan lancar. Hanya modal motor sewaan Rp 50.000 per hari, Hasan bisa mendapatkan penghasilan rata-rata Rp 200.000-300.000 per hari dari hasil mengojek.

Besarnya penghasilan itu lantaran tarif ojek di Puncak Jaya sangat mahal. Maklum, ojek merupakan satu-satunya sarana transportasi umum di Puncak Jaya selain pesawat terbang.

Tarif ojek terendah di Puncak Jaya Rp 10.000 untuk jarak dekat. Sementara tarif jarak menengah hingga jauh berkisar Rp 200.000 - Rp 700.000 untuk sekali jalan.

Biasanya tarif tinggi dikenakan untuk tujuan jarak jauh misalnya perjalanan ke distrik lain yang letaknya  beberapa kilometer dari Kotamulia. Namun konflik Pilkada Kabupaten Puncak Jaya dan ancaman gerakan bersenjata Papua, membuat Hasan berpikir seribu kali mengantar penumpang jarak jauh.

Faktor keamanan menjadi momok yang paling menakutkan bagi Hasan dan para tukang ojek Puncak Jaya lainnya. Sebab para tukang ojek yang kebanyakan pendatang, kerap menjadi korban konflik di Puncak Jaya.

Awal Agustus lalu misalnya, seorang tukang ojek Puncak Jaya di hadang dan ditembak mati oleh kelompok bersenjata setelah pulang mengantar penumpang ke Distrik Mewoluk. Selain faktor keamanan, Hasan juga merasakan getirnya menyambung hidup di wilayah pedalaman.

Maklum biaya hidup di Puncak Jaya terbilang sangat besar di bandingkan tinggal di kabupaten lain di Papua.

Mahalnya Ongkos Logistik

Puncak Jaya merupakan kabupaten pedalaman Papua yang sulit dijangkau lewat jalur darat. Akibatnya, harga barang kebutuhan sehari-hari jadi sangat mahal lantaran harus diangkut menggunakan pesawat.

Harga bawang merah misalnya, Rp 90.000 per kg, bawang putih Rp 80.000 per kg, telur ayam Rp 100.000 per rak, garam dapur Rp 15.000 per 500 gram, beras biasa Rp 25.000 per kg, dan minyak goreng Rp 150.000 per jerigen.

Harga itu jauh lebih mahal dibandingkan di Jayapura. Harga bawang merah di Jayapura Rp 33.000 per kg, bawang putih Rp 37.000 per kg, telur ayam Rp 55.000 per rak, garam dapur Rp 2.000 per 500 gram, beras biasa Rp 9.000 per kg, dan minyak goreng Rp 75.000 per jerigen.

Meski getir, Hasan mengerti betul tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ia tetap mengojek dengan segala konsekuensinya. Tujuannya satu yaitu tetap memberikan nafkah untuk keluarganya di seberang pulau.

"Niatnya lari ke sini supaya saya cari tambahan supaya kita bisa bayar kekurangan itu. Ternyata sampai ke sini itu kesulitan. Jangankan untuk bayar utang, untuk kirim ke Jawa aja rasanya susah," ucap Hasan.

Namun Hasan bukan satu-satunya orang Jember di Puncak Jaya. Muhammad Mursyid (35), sudah lebih dulu datang dan mengadu nasib di Kotamulia Pria asal Jember itu sudah 4 tahun bekerja sebagai tukang ojek di Kotamulia.

Ia tahu betul kondisi keamanan dan perkembangan tukang ojek asal Jember di Puncak Jaya. Sekitar 4 tahun lalu, ia masih ingat ada 10 tukang ojek asal Jember di Kotamulia. Kini tutur Mursyid, jumlah orang Jember yang bekerja sebagai tukang mencapai lebih dari 40 orang di Puncak Jaya.

Menjamurnya tukang ojek jelas membuat peluang mendapatkan penumpang akan kian kecil. Itu artinya, pundi-pundi pendapatan juga berpotensi menyusut.

Hasan dan Mursyid berharap agar situasi dan kondisi di Puncak Jaya kembali stabil. Sebab hanya dengan begitu masyarakat Puncak Jaya mau bepergian dari satu tempat ke tempat lain menggunakan jasa ojek.

Kisah Hasan dan Mursyid ini adalah gambaran lain dari Puncak Jaya, Papua. Kabupaten pedalaman Papua itu juga punya kisah-kisah menarik perjuangan hidup masyarakatnya, termasuk mereka para pendatang.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/28/065000126/kisah-tukang-ojek-di-puncak-jaya-tarif-tinggi-tapi-bertaruh-nyawa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke