Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aturan Pajak Semakin Ketat Tahun Ini

Pertama, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait aturan Controlled Foreign Company (CFC) yang terbit dalam bentuk PMK 107 tahun 2017, pemerintah berharap aturan ini bisa menjadi pintu untuk basis pajak yang baru.

Aturan CFC ini terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak Indonesia.

Dalam aturan ini, normalnya wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang memiliki penyertaan pada badan usaha luar negeri hanya dikenai pajak ketika anak perusahaannya/badan tersebut mendistribusikan dividen.

(Baca: Apapun Skemanya, Ditjen Pajak Siap Jadi Eksekutor Pajak Freeport )

Tetapi khusus yang dikendalikan 50 persen, maka saat diperolehnya penghasilan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

“Jadi untuk dividen itu tidak menunggu sampai didistribusikan karena saatnya sudah ditetapkan dalam PMK ini,” kata Kepala Seksi Perjanjian dan Kerja Sama Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Ahmad Sadiq Urwah di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Pusat, Senin (4/9/2017).

Selain itu dalam PMK ini sudah diberikan penjelasan bahwa aturan CFC ini juga mengadopsi anti-fragmentation rules sehingga wajib pajak (WP) sulit memecah-mecah besarnya kepemilikan agar lepas dari ketentuan CFC.

Kedua, ada pula penegasan dari ketentuan pemanfaatan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER–10/PJ/2017 pada 19 Juni 2017.

Aturan ini dibuat lantaran banyak sekali treaty yang dimanfaatkan untuk treaty abused. Dalam aturan ini mengatur siapa yang boleh manfaatkan treaty Indonesia dengan negara lain.

Kepala Seksi Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional I Ditjen Pajak mengatakan, aturan ini terkait apakah WP ini benar-benar residence atau WP yang ingin sengaja melakukan abuse. Maka dari itu, dibuat tata cara dengan persyaratan administratif.

“Jangan sampai WP mendirikan di luar negeri hanya untuk menikmati treaty Indonesia dengan negara lainnya padahal dia tidak berhak. Harus ada kegiatan yang aktif, bukan hanya terima penghasilan lalu uangnya diberikan ke pihak lain,” ujarnya.

“Diharapkan, kita di Indonesia, fiskus memiliki alat apakah WP dan badan ini punya hak memanfaattkan treaty atau tidak,” lanjutnya.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan, bahwa adanya aturan-aturan baru ini tidak ada pengaruhnya bagi dunia usaha.

Ia mengatakan, apabila WP makin patuh justru akan baik ke perekonomian karena negara butuh dana besar untuk pembangunan infrastruktur.

“Maka butuh dana dari masyarakatnya. Jadi tidak ada kaitannya atau menjadi disinsentif. Ini disinsentif bagi wajib pajak yang menghindari pajak,” ujarnya.

Menurut dia, upaya-upaya ini dilakukan dalam rangka mencegah penghindaran pajak. Pasalnya, banyak negara dirugikan karena wajib pajak gunakan segala cara untuk itu.

Ketika dunia ini bersatu lalu menelurkan kesepakatan perjanjian seperti AEoI, tidak bisa dilihat sebagai disinsentif. Bukan hanya Indonesia yang lakukan ini.

"Jadi, jangan dilihat DJP Kemenkeu sangat agresif di sini. Tapi kami kejar ketertinggalan dari dunia internasional,” kata dia. (Ghina Ghaliya Quddus)

Berita ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Aturan pajak kian ketat, DJP: Bukan disinsentif" pada Senin (4/9/2017)

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/05/180000526/aturan-pajak-semakin-ketat-tahun-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke