Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rencana Biaya Top Up Uang Elektronik Membuat Penggunanya Kecewa

Di satu sisi, penggunaan uang elektronik dapat mewujudkan cashless society, namun pengenaan biaya isi ulang memberatkan konsumen.

Hal ini dikeluhkan oleh seorang warga yang setiap hari menumpang sarana transportasi publik.

Faizal, seorang mahasiswa sebuah universitas di kawasan Depok, Jawa Barat, setiap hari menggunakan kereta rel listrik (KRL) Commuterline Jabodetabek dan Transjakarta untuk beraktivitas.

(Baca: YLKI: Biaya Top Up Uang Elektronik Tidak Fair untuk Konsumen)

Ia membayar tiket transportasi publik dengan menggunakan uang elektronik. Selain itu, uang elektronik juga cukup sering digunakannya untuk melakukan pembayaran di gerbang tol.

Dalam pengisian ulang saldo uang elektronik, ia mengisi sekaligus sebulan sekali dalam jumlah yang cukup signifikan. Tentu saja hal ini untuk menunjang mobilitasnya yang tinggi.

Menurut Faizal, penggunaan uang elektronik cukup membantunya dalam transaksi pembayaran. Sebagai pengguna sarana transportasi publik, tentu melakukan pembayaran dengan uang elektronik lebih cepat dan praktis.

Meskipun demikian, terkait rencana pengenaan biaya isi ulang saldo uang elektronik, Faisal mengaku menyayangkan.

(Baca: Siap-siap, "Top Up" Uang Elektronik Bakal Kena Biaya)

"Jika setiap top up dikenakan biaya tentu keberatan. Di tengah aturan dan kampanye untuk penggunaan nontunai, biaya ini hanya sebagai insentif bagi bank. Lalu, insentif untuk konsumen apa?" ujar Faizal kepada Kompas.com, Senin (18/9/2017).

Faisal menuturkan, dirinya menyoroti alasan bank mengenakan biaya untuk topup, termasuk di dalamnya adalah biaya untuk operasional dan perawatan infratsruktur uang elektronik.

Ia pun meminta kepada otoritas untuk memikirkan insentif lain tanpa perlu membebankan konsumen.

"BI (Bank Indonesia) sebagai otoritas bisa memberikan insentif bentuk lain bagi perbankan, tanpa perlu membebankan biaya ke konsumen," ungkap Faizal.

Pay (26), pegawai swasta yang berkantor di kawasan Senayan, Jakarta. Dia menggunakan uang elektronik untuk keperluan menumpang kereta rel listrik (KRL) maupun bus TransJakarta.

Pay mengaku hanya mengisi ulang saldo dengan besaran yang tidak terlampau besar tiap bulannya. Sehingga, dia merasa keberatan apabila setiap kali mengisi ulang saldo harus dikenakan biaya.

Pay mengibaratkan biaya isi ulang tersebut seperti membeli tiket untuk dua orang, namun hanya dipakai satu orang. "Kalau pakai biaya kayaknya enggak nyaman deh," ujar Pay.

Selain itu, Marjudin (32) salah satu pegawai perusahan swasta yang juga pengguna kartu uang elektronik, mengaku kaget terkait rencana pemerintah menerapkan biaya tambahan saat isi ulang kartu uang elektronik.

"Intinya kecewa dan kaget, terkait adanya rencana biaya tambahan isi ulang," ujar Marjudin.

Menurutnya, saat ini pemerintah harus melakukan kajian terlebih dahulu terkait biaya isi ulang tersebut, karena akan memberikan dampak yang besar kepada pengguna kartu uang elektronik.

"Harusnya dikaji ulang atau dibatalkan, karena pada awalanya untuk mengurai kepadatan di jalan tol, jangan malah sekarang berdampak pada komersialisasi kartu uang elektronik," jelasnya.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/18/163505526/rencana-biaya-top-up-uang-elektronik-membuat-penggunanya-kecewa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke