Aturan itu tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2017 yang berisi tentang pengenaan PPh final untuk harta yang belum atau tidak dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
Meski berlaku untuk semua wajib pajak, namun aturan itu memiliki sasaran prioritas. "Di awal, kami akan prioritaskan yang tidak ikut tax amnesty," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama di Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Menurut Hestu, hal itu untuk memenuhi azas keadilan wajib pajak yang sudah ikut tax amnesty.
Seperti diketahui, wajib pajak yang ikut tax amnesty harus melaporkan semua hartanya dan wajib membayar uang tebusan kepada negara dengan besaran tarif yang ditentukan di dalam UU tax amnesty.
Menurut Hestu, tax amnesty merupakan upaya nyata wajib pajak untuk mengakui kesalahan pajaknya di masa lalu dan cermin dari kemauan memperbaiki diri untuk lebih patuh dengan aturan perpajakan.
"Yang ikut tax amnesty kami apresiasi," kata dia.
Keras
PP 36 Tahun 2017 dikeluarkan pemerintah sebagai tindak lanjut UU tax amnesty, terutama Pasal 13 dan 18 terkait dengan perlakuan perpajakan.
Pasal itu menyatakan bahwa harta yang tidak dilaporkan dalam Surat Pelaporan Harta (SPH) dan atau Surat Pemberitaan Tahunan (SPT) pajak, maka akan dianggap sebagai tambahan penghasilan.
Di dalam PP 36 Tahun 2017, pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) final untuk harta yang dianggap sebagai tambahan penghasilan tersebut.
Tarif PPh finalnya yaitu 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu, 25 persen untuk wajib pajak badan, dan 30 persen untuk wajib pajak orang pribadi.
Tak hanya itu, wajib pajak juga akan terkena sanksi administrasi perpajakan sebesar 200 persen dari total pajak penghasilan atas harta tersebut seusai amanat Pasal 18 UU tax amnesty.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/20/220845526/aturan-baru-pajak-siapa-yang-jadi-sasaran-prioritas