Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ada “Ritual” Cari Sinyal di Natuna

Pada satu waktu, layar ponsel memasang bar sinyal penuh, penanda 4G pun muncul. Lain waktu, bar sinyal tetap penuh tetapi penandanya yang tampak adalah GPRS atau EDGE. Persamaan dari keduanya adalah sama-sama tidak selalu bisa dipakai.

“Dua tahun sampai satu tahun lalu, kondisinya lebih baik daripada sekarang," kata Asisten Daerah I Bidang Pembagunan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Abdullah, Kamis (19/10/2017) pagi.

“Kami ini belum merdeka kalau soal sinyal,” kata salah satu warga Natuna, Hasdedy, sambil tertawa, saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (18/10/2017).

Paket data, ujar dia, lebih sering habis lebih dulu masa berlakunya daripada kuota datanya. Dengan nada becanda, dia pun bilang, setiap kali orang Natuna ke Batam, aktivitas yang pasti dilakukan adalah mengoptimalkan fungsi ponsel dan jaringan internet.

Bagi warga pendatang, kondisi sinyal buruk ini makin menjadi-jadi terasa sesaknya.

“Mau kasih kabar keluarga susah. Baru kalau ke Batam, merdeka (koneksi dengan sinyal dan internet),” ujar Wahyu Dwi Prasetyo, lelaki asal Jakarta yang mendapat penempatan tugas di Natuna.

Belum lagi masalah pekerjaan. Pengiriman data apalagi dokumentasi berupa foto dan video adalah tantangan besar.

“Sering kami dapat komentar, pesan sudah dibaca tetapi kok tak juga ada balasan,” imbuh Hasdedy.

Kejadiannya, sinyal memang timbul tenggelam di Natuna. Ketika sinyal sedang berkenan singgah, sederet pesan lalu berentet masuk ke ponsel di genggaman. Namun, belum tentu sinyal singgah itu bertahan lama bahkan untuk sekadar mengirimkan jawaban pesan.

Kompas.com dan rombongan wartawan dari Jakarta yang sedang meliput kelistrikan di Natuna pun tak urung berurusan dengan “ritual” mencari sinyal itu sejak Rabu (18/10/2017) pagi hingga Kamis (19/10/2017) siang.

Tantangan jadi makin berasa ketika agenda peliputan padat merayap, sejumlah data bertebaran, tapi tak ada sinyal di ponsel bahkan sekadar untuk berkirim pesan dan telepon.

“Kalau cuma mau SMS dan telepon, coba ubah seting ponsel ke 2G,” kata salah satu pegawai hotel Natuna, Rabu malam.

Saran tersebut lumayan tokcer akhirnya. Namun, kadang-kadang butuh beberapa kali upaya untuk telepon dapat bersambung. Suara putus-putus atau berdengung adalah bonusnya.

Pesan layanan singkat (SMS) sama tak jelasnya. Dikirim pagi, belum tentu siang sudah terkirim. Lebih sering, pemberitahuan pesan gagal terkirim yang mampir ke kotak pesan masuk ponsel saat sesaat sinyal melintas.

Ada sejumlah lokasi di Natuna yang sudah ditandai lalu menyebar dari mulut ke mulut sebagai tujuan para pelaku “ritual” cari sinyal. Meski begitu, tak ada jaminan sinyal benar-benar tertangkap dan atau bisa dipakai.

Bandara Ranai merupakan tempat yang disebut paling berpeluang disinggahi sinyal buat ponsel. Lokasi berikutnya, satu kafe di jalur dari bandara ke pusat kota Natuna.

Lokasi selanjutnya adalah di kawasan sekitar pangkalan Marinir dan TNI AL di Selat Lampa. Ada menara pemantul sinyal ponsel di situ. Jaraknya sekitar 20-an kilometer berseberangan arah dari bandara.

Di luar tiga lokasi tersebut, hanya keberuntungan dan arah angin bertiup yang jadi perburuan dalam “ritual” mencari sinyal.

Di hotel tempat rombongan menginap, misalnya, memang tersedia fasilitas Wi-Fi gratis sekalipun terbatas di area resepsionis. Masalahnya, bar sinyal penuh tetapi keterangan yang tertera di bawah nama koneksi adalah “no internet”.

Menurut Abdullah, kelebihan beban pengguna jaringan bisa jadi merupakan penyebab kondisi sinyal yang sesekali saja malu-malu muncul di Natuna. Pertumbuhan pengguna ponsel pintar patut diduga melebihi perkembangan infrastruktur telekomunikasi ini di Natuna.

Kabar baiknya, kata Abdullah, jaringan fiber optic mulai dibangun di Natuna, bagian dari kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika. Saat ini, penanaman jaringan di darat sudah berjalan dengan perkiraan target berfungsi pada 2018.

Menurut Abdullah, kemungkinan lain sinyal yang setidaknya makin memburuk setahun terakhir juga punya kaitan dengan jaringan baru telekomunikasi yang lagi dibangun itu.

“Mungkin provider masih wait and see perkembangan proyek,” kata Abdullah.

Pada semester I 2017, lanjut Abdullah, sempat ada penambahan lima menara pemantul sinyal telekomunikasi di Natuna. Salah satunya yang berlokasi di dekat markas TNI AL di atas.

“Tapi belum ada perbaikan berarti soal kualitas sinyal ini,” kata Abdullah.

Kalaupun di lokasi dekat kompleks militer tersebut didapati sinyal cukup rajin bertandang, Abdullah berpendapat hal itu lebih karena penduduk di kawasan itu belum banyak.

Menurut dia, kondisi bakal berbeda lagi saat kompleks tersebut sudah berpenghuni. Rencananya, kompleks ini akan turut diresmikan Presiden Joko Widodo bersamaan dengan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Pulau Tiga dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Selat Lampa pada November 2017.

Di luar tantangan sinyal, Natuna sebenarnya bak kembang yang lagi mekar. Sejumlah proyek strategis disiapkan di sini, terutama di bidang kelautan dan perikanan serta pertahanan dan keamanan.

Tingkat elektrifikasi pun sedang digenjot di sini untuk segera tercapai 100 persen maksimal pada 2019. Kehadiran SKPT misalnya, menjadi salah satu sebab utama PT PLN (Persero) menghadirkan PLTD Selat Lampa yang sudah masuk tahap uji performa.

Namun, tantangan sepertinya masih panjang. “Ritual” cari sinyal ada di antaranya.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/19/145402926/ada-ritual-cari-sinyal-di-natuna

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke