Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Napoleon Terlunta di Natuna

“Sampai 2014, harganya bisa sampai Rp 1,2 juta per kilogram, buat pasar Hongkong,” kata Asisten Daerah Bidang Pemerintahan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Abdullah, Kamis (19/10/2017).

Namun, ikan yang disebut sudah ada sejak generasi zaman purba ini sekarang terlunta. Tak ada lagi penjemput, sementara pengantar juga tak kunjung ada.

Ikan napoleon banyak ditemukan antara lain di wilayah perairan Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas, keduanya di Provinsi Kepulauan Riau. Pada masa jayanya, ikan napoleon “dijemput” kapal dari Hongkong.

Waktu berjalan, pemerintahan berganti, kebijakan pun berubah. Kapal dari berbendera asing tak lagi bisa di tengah laut membeli langsung ikan dari nelayan Indonesia, tak terkecuali kapal Hongkong pembeli napoleon.

Berdasarkan kebijakan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, hanya kapal berbendera Indonesia yang bisa langsung membeli ikan dari nelayan lalu “mengantar”-nya ke pembeli di luar negeri.

“Masalahnya, tak kunjung ada kapal (berbendera) Indonesia yang datang,” kata Asisten Daerah Bidang Administrasi Kabupaten Natuna, Izwar Asfawi, Kamis malam.

“Tidak ada pelarangan menjual ikan napoleon. Ada kuota, memang, tapi tidak dilarang,” ujar Izwar.

Kuota yang dimaksud Izwar ini merujuk pada Surat Keputusan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor SK 181/KSDAE/SET/KSA.2/4/2017.

Berdasarkan regulasi tertanggal 5 Mei 2017 tersebut, per tahun hanya 30.000 ekor ikan napoleon boleh ditangkap dari perairan Natuna untuk dijual. Adapun kuota untuk perairan Anambas adalah 10.000 ekor.

Di peraturan yang sama tertera pula “status” ikan tersebut sebagai satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang. Kriteria ikan yang bisa dijual juga tercakup di dalamnya.

Untuk mencapai bobot 1.000 gram, ikan napoleon butuh waktu sekitar 4 tahun sampai 5 tahun. Makanannya adalah jenis ikan lain yang lebih kecil.

“Ya meski belum ada yang beli lagi, tetap dikasih makan,” ujar Welly (62), salah satu penjaga yang mengurusi keramba ikan napoleon di Bunguran, Pulau Sendanau, Natuna, Kamis petang.

Menurut Welly, ikan-ikan tersebut dipelihara dari ukuran sangat kecil. Bibit itu didapat dari perairan setempat. Selama ikan napoleon tak terjual, pendapatan para pemilik keramba itu didapat dari jenis ikan lain yang juga ditangkarkan di situ.

Di wilayah lain di Natuna—ada 15 kecamatan—rata-rata listrik menyala paling banter 14 jam atau bahkan belum ada aliran listrik. Meski begitu, per Oktober 2017, merujuk data PT PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau, rasio elektrifikasi di Kepulauan Riau tercatat 76,33 persen.

Di Kabupaten Natuna tersedia daya terpasang 11,5 Mega Watt (MW). Namun, kemampuan nyata (daya mampu) dari kapasitas terpasang itu 6,7 MW, dengan beban puncak—pemakaian tertinggi arus listrik pada satu waktu—tercatat 5,7 MW.

“Daya terpasang adalah kemampuan seluruh mesin dari yang pertama ada sampai sekarang, termasuk yang sudah berumur tua dan rusak,” kata Manajer Rayon Natuna PT PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau, Hasdedy, Kamis.

Selama 2017, PLN juga masih terus menambah mesin pembangkit di Kepulauan Riau, termasuk di Kabupaten Natuna. Khusus Kabupaten Natuna akan ada tambahan 22 mesin dengan total kapasitas daya 13,5 MW.

“Ini menambah pasokan, tak hanya untuk persiapan memenuhi kebutuhan industri di sini tetapi juga untuk meningkatkan roda perekonomian dan kesejahteraan masyarakat,” kata Manajer SDM dan Umum PT PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau Dwi Suryo Abdullah, Jumat (20/10/2017).

Sejumlah industri yang kebutuhan listriknya mulai diantisipasi termasuk bidang perikanan. Di Natuna sudah terbangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa yang diharapkan bisa menjadi tempat sandar, penampungan, dan pelelangan dari seluruh kapal yang melaut di perairan Natuna.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/21/145639926/kisah-napoleon-terlunta-di-natuna

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke