Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aplikasi Sudah "Online", Pangkalan Tetap"Offline"

Penulis akan meneropongnya dari satu segmen yang paling umum, transportasi daring lebih spesifik ojek online. Sebuah fenomena unik terkait transportasi online yang hanya terjadi di Indonesia, karena di negara lain pada umumnya kendaraan roda empat atau mobil (taksi).

Fenomena transportasi daring seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak belahan dunia lainnya dan sering disebut sebagai ‘uberization’. Istilah yang diperkenalkan oleh mantan CEO Uber Travis Kalanick.

Adapun penulis dalam kapasitas ini memandang sebagai konsumen, pun juga sebagai observer (pengamat). Dengan kata lain, penikmat juga pengkritik secara bersamaan.

Dahulu sempat ada wacana bahwa keberadaan ojek perlu dihapuskan, selain karena tidak memiliki kelayakan sebagai alat transportasi juga diduga pangkalan ojek menjadi salah satu sumber kemacetan.

Kini dengan sentuhan TIK, profesi ojek mengalami pengembangan secara horizontal dan vertikal. Akibatnya jumlah ojek pangkalan mengalami penyusutan, karena sebagiannya telah mengalami proses pertukaran (trade off) ke ojek online. Buah dari adanya insentif awareness (pengetahuan).

Hingga pada akhirnya sebagian segmen ojek partikelir secarac akomodatif berpindah, sisanya belum atau tidak. Pihak yang konservatif pada awalnya secara ekstrem memilih relasi bertolak belakang dengan cara berkonflik, demonstrasi, dan buat larangan melintas.

Namun demikian saat energi tak sebanding kapasitas dan ruang kendali, langkah mengalah dan membiarkan adalah jalan terbaik. Kini kita menemukan dua jenis ojek: online dan partikelir (konvensional). Berdampingan, meski sesekali masih bersitegang. 

Di antaranya office boy (OB), pramuniaga di warung ritel modern, manajer asuransi, hingga anak kuliahan. Motifnya beragam, utamanya uang. Itu terjadi secara horizontal.

Adapun secara vertikal, kini kita bisa mengakses ojek online dari mana saja sepanjang ada sinyal. Dulu ojek hanya melayani penumpang di tempat-tempat marginal seperti pasar, kompleks, dan gang sempit. Siklus ekonominya sempit.

Kini, telah secara penetratif ojek online mengubah pola itu, dapat menerima pesanan dari konsumen yang keluar dari dan ke hotel, dari dan ke perkantoran, dari dan ke mal, bahkan hingga ke depan istana negara sekalipun.

Ada gengsi yang naik dari sebuah profesi ojek, karena masuk ke platform online dan pada saat yang bersamaan selera yang adaptif dari konsumen. Kini di beberapa gerai makanan atau fasilitas tertentu, ojek online mendapatkan tempat dengan disediakan parkir, bel khusus, dan antrian tersendiri.

Sebuah fakta bahwa ojek online telah menjadi perangkat vital dalam rantai distribusi barang dan jasa.

Saat ini mulai terasa permintaan terhadap ojek online semakin tinggi, meski demikian berbanding lurus dengan jumlah driver ojek online yang juga semakin banyak.

Akibatnya, terjadilah over supplied dan tren titik jenuh karena kompetisi sesama awak maupun lintas penyedia. Dampak alamiah kini bermunculan pangkalan-pangkalan.

Ojek online baru di tempat banyak konsumen berada. Ibarat pepatah, ada gula ada semut. Silahkan tengok saja stasiun, terminal, pusat perkantoran, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya tumbuh pangkalan offline. Macet.

Di situlah kita mulai menemukan jawaban bahwa inefisiensi tidak selamanya bisa diselesaikan dengan TIK. Bukti penyedia ojek online selama ini hanya mendorong penggunaan aplikasi, namun mereka alpa dalam berperan serta merestrukturisasi tatanan fasilitas publik yang ada dan mendorong perilaku berkendara yang lebih baik.

Kemacetan ini bukan tidak disadari oleh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah daerah. Seperti apa yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur DKI Sandiaga uno terkait beberapa sebab kesemerawutan area tanah abang, salah satunya karena ojek online yang mangkal.

Atas dasar itu pula tentu moda transportasi jenis ini harus menjadi pertimbangan bagi Gubernur DKI Anies Baswedan dalam merumuskan kebijakan membolehkan ruas Sudirman - Thamrin dilewati sepeda motor.

Mengingat situasi sejenis juga terjadi beberapa daerah, karenanya dalam merespons kondisi tersebut pemerintah daerah mengambil sejumlah langkah dari mulai pembatasan hingga penataan, seperti menyediakan beberapa titik perhentian khusus.

Akibat terjadi migrasi profesi dari nonojek, maka membuka dua jenis peluang perilaku berkendara yang berubah. Hikmahnya, ada yang tertib. Namun faktanya tidak sedikit yang ugal-ugalan.

Jumlah pengemudi ojek online yang banyak ternyata tidak cukup diimbangi dengan proses rekruitmen yang memadai dari pihak penyelenggara layanan. Dengan tidak bermaksud mengambil kesimpulan secara singkat, fenomena "moral hazard" juga menghinggapi profesi ini.

Silahkan search saja di media online secara mandiri, kita dapat menemukan sejumlah kasus. Tentu bukan gambaran umum, tapi fakta itu demikian adanya.

Catatan lainnya, disadari jarak tempuh ojek online lebih jauh dibandingkan ojek partikelir pada umumnya. Bisa melebihi jarak 25 km, melintasi kampung bahkan batas kota.

Terjadilah sirkulasi serta mobilitas yang dinamis dan komunal, tidak sekadar linier dan statis. Tentu saja kondisi itu memerlukan kesiapan fisik dan konsentrasi yang memadai dari awak pengemudi.


Tren naik, namun masih menyisakan masalah

Data awal 2017 dari survei tahunan Forbes terkait ‘Future of Supply Chain’ menegaskan tren pertumbuhan ‘uberization’ telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak tahun 2014.

Kita melihat 'uberization' sebagai kekuatan yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri, para pekerjanya dan penggunanya. Namun demikian kondisi ini jika tidak diintegrasikan dengan sistem yang ada, maka sejatinya ‘uberization’ akan ada di dunianya sendiri atau terjadi ‘alienasi’.

Hingga pada akhirnya apa yang terjadi seperti sekarang, industrinya tumbuh namun regulasi kesulitan menjangkau secara sempurna dan cepat beragam hal spesifik.

Platform layanan digital bisa sangat berhasil dalam menengahi beragam kesulitan jarak, namun medium ini kurang berguna saat pembeli dan penjual mengembangkan budaya yang kontraproduktif atau terjadi semacam communication gap.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/22/070500126/aplikasi-sudah-online-pangkalan-tetap-offline-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke