Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghindari Persepsi Pengampunan Pajak Permanen di Masyarakat

Belakangan, aturan ini sempat berkembang dengan pemahaman sebagai tax amnesty (pengampunan pajak) jilid 2, yang langsung dibantah oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama, beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa pihaknya hanya menyelenggarakan tax amnesty satu kali dan tidak ada untuk kedua kalinya. Ketetapan ini turut ditegaskan oleh pernyataan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat tax amnesty gencar disosialisasikan dulu.

Meski begitu, penerapan PMK 165/2017 tetap dianggap sebagai bentuk kelonggaran DJP terhadap wajib pajak yang belum menunaikan kewajibannya melapor harta.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo pada Jumat (24/11/2017) menilai, terdapat sisi positif dari PMK 165/2017, sekaligus ada hal yang harus diperhatikan agar pemahaman masyarakat tidak salah terhadap aturan tersebut.

"PMK 165 menurut saya positif, dalam artian membangun kepatuhan dan pengungkapan sukarela. Saya lihat dari situasi objektif, wajib pajak yang ikut tax amnesty belum banyak, belum ada satu juta (peserta), sangat sedikit dari yang seharusnya ikut," kata Yustinus.

Wajib pajak dinilai belum bisa 100 persen sadar akan kewajibannya, sehingga PMK 165/2017 diharapkan dapat mendorong tingkat kepatuhan. Meski begitu, di satu sisi, Yustinus melihat PMK 165/2017 bisa memunculkan pertanyaan dari wajib pajak yang sudah jujur dan ikut tax amnesty sebelumnya, mengapa mereka yang tidak patuh kerap diberi kesempatan lagi oleh DJP.

"Ada perasaan juga bagi yang jujur ikut tax amnesty, kok ini enggak dihukum yang tidak ikut? Pasti ada perasaan semacam itu, wajar menurut saya. Minimal yang sudah ikut amnesti dengan jujur bukan dirugikan, hanya tidak diuntungkan," tutur Yustinus.

"Kesempatan kedua ini sebaiknya hanya sekali, dan tidak diberikan lagi dalam waktu dekat karena akan memberikan persepsi seolah-olah ada amnesti permanen," ujar dia.

Persepsi semacam ini disebut Yustinus pernah muncul di Argentina, yang mana dalam kurun waktu 13 tahun ada sembilan kali amnesti yang diberikan pemerintah kepada wajib pajaknya. Ketika persepsi itu terbangun, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kewajibannya akan pajak cenderung menurun.

Menanggapi hal itu, Hestu Yoga menjelaskan bahwa PMK 165/2017 berbeda jauh dengan tax amnesty. Berdasarkan latar belakang terbentuknya PMK 165/2017 juga sebagai konsekuensi dari Undang-Undang Tax Amnesty yang diatur dalam Pasal 18, di mana wajib pajak akan diberi sanksi denda jika petugas pajak menemukan harta yang belum dilaporkan.

"Kami tidak pernah berpikir ini pengampunan lagi. Itu kesempatan yang dimiliki oleh wajib pajak, tarifnya juga normal, bukan tarif tax amnesty," ucap Yoga.

Adapun sanksi denda yang dikenakan sebesar 200 persen bagi wajib pajak peserta tax amnesty dan denda 2 dikali maksimal 24 bulan bagi wajib pajak bukan peserta tax amnesty. Tarif pajak yang dikenakan adalah 25 persen untuk wajib pajak badan, 30 persen untuk wajib pajak orang pribadi, dan 12,5 persen bagi wajib pajak tertentu.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/27/114700326/menghindari-persepsi-pengampunan-pajak-permanen-di-masyarakat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke