Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penggunaan Obligasi Daerah Harus Melalui Persetujuan DPRD

Tidak hanya persetujuan, Pemda bersama DPRD juga harus membuat dua peraturan daerah (Perda) yang mengatur soal obligasi.

“Tiap daerah harus meminta persetujuan DPRD, biasanya ketika rapat paripurna,” kata Iwan Richard Butarbutar, Ahli Madya Analis Keuangan Pusat dan Daerah pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rabu (13/12/2017) kemarin.

Setelah mendapat persetujuan, Pemda juga harus membentuk dua Perda yang mengatur soal obligasi. Perda pertama soal obligasi daerah dan kedua soal pembetukan dana cadangan.

Perda pembentukan dana cadangan penting mengatur jalannya obligasi. Perda itu terkait kewajiban mengatur pembayaran utang pokok dan bunga.

“Kalau obligasi yang dibayar itu bunganya, yang pokok dibayar di akhir periode. Jadi dana pokok itu dicadangkan sejak tahun pertama. Nanti di akhir harus lunas 100 persen. Itu sebagai syarat penerbitan obligasi daerah,” ujar Iwan.

Iwan menambahkan, daerah dapat mengambil dana obligasi maksimal 75 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jika APBD Jateng tahun 2018 ditetapkan Rp 24,971 triliun, maka plafon maksimal mencapai RP 17,9 triliun.

“Maksimal 75 persen dari APBD,” kata dia.

Selain persetujuan itu, Pemda juga harus membentuk satu unit pengelola obligasi daerah. Dalam pelaporannya, Gubernur ataupun bupati/Wali Kota harus membuat laporan pertanggungjawaban yang mengikuti standar pasar modal. Tentunya dengan prinsip Good governance yang lebih baik.

“Menkeu dan Mendagri akan melakukan pengawasan. Misalnya pelaporan tidak disampaikan akan dievaluasi, agar investor tidak memberi penilaian yang jelek di daerah. Jadi, program obligasi tergantung dari kepala daerahnya,” sambungnya.

Simon, perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri juga menerangkan batasan pencarian dana melalui obligasi. Pencarian modal hanya dibolehkan dilakukan di pasar modal domestik dengan mata uang rupiah.

Proyek yang dibiayai dari obligasi harus berupa kegiatan sarana dan atau prasarana publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD. Proyek infrastruktur itu misalnya air minum, sampah, rumah sakit, pasar, dan terminal.

“Obligasi tidak dijamin Pemerintah, makanya harus clear dan transparan,” tambahnya.

Ali Asmoro dari Bank Dunia juga ikut mendorong agar pemda mulai mengakses alternatif pembiayaan itu. Banyak provinsi di negara sudah menggunakan obligasi dan sukses membangun infrastruktur.

Contoh negara yang sukses melakukan pembangunan melalui obligasi misalnya di Rio de Janairo (Brasil), Bogota (Kolombia), Ahmedabad (India), Johannesburg (Afsel), dan Tamil Nasu (India).

“Biasanya obligasi yang dipakai untuk satu proyek besar. Tapi ada juga yang gagal bayar seperti di Detroit (AS),” paparnya.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebelumnya melirik obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Obligasi daerah dinilai lebih murah ketimbang meminjam dana dari swasta atau perbankan.

"Ini pembiayaan baru di tengah keterbatasan APBD," kata Ganjar.

Obligasi menjadi salah satu alternatif untuk menggali dana melalui pasar modal. Cara itu bisa digunakan kabupaten/kota atau Pemerintah provinsi untuk mengatasi minimnya anggaran infrastruktur. 

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/14/100000126/penggunaan-obligasi-daerah-harus-melalui-persetujuan-dprd

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke