VP Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, pada sesi awal perdagangan hari ini, rupiah diperdagangkan melemah terhadap dollar AS. Pelemahan dipengaruhi kebijakan Presiden AS Donald Trump yang akan menaikkan tarif impor untuk produk alumunium dan baja, kecuali dari Kanada dan Meksiko.
"Selain itu, pelemahan rupiah dan mata uang Asia pada sesi pembukaan juga didorong oleh keputusan ECB (Bank Sentral Eropa) yang masih tetap mempertahankan suku bunga acuan yang pada akhirnya menekan euro," sebut Josua kepada Kompas.com.
Kebijakan tarif impor Trump memang salah satu upaya untuk menekan defisit neraca perdagangan. Meskipun saat ini hanya dikenakan untuk alumunium dan baja, namun tidak menutup kemungkinan kenaikan tarif impor bisa diperluas ke sektor lainnya.
Konsekuensinya untuk AS, sebut Josua, sebenarnya ada potensi bahwa lapangan kerja AS dapat terpengaruh negatif karena kenaikan biaya produksi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Tarif impor yang berujung pada perang dagang pun bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi global khususnya negara berkembang yang mengandalkan ekspor sebagai pendorong perekonomian.
"Dampaknya buat Indonesia sebenarnya marginal jika terjadi trade war yang dipicu kebijakan Trump mengingat kontribusi ekspor pada perekonomian kita yang relatif kecil," ujar Josua.
Meskipun demikian, tekanan pada rupiah kembali mereda jelang penutupan. Ini disebabkan sentimen negatif dari potensi perang dagang dari kebijakan tarif impor Trump ditangkal oleh sentimen positif dari pertemuan Trump dan Kim Jon Un yang berkomitmen untuk melakukan denuklirisasi.
Rupiah ditutup pada posisi Rp 13.797 per dollar AS, sedikit melemah dibandingkan posisi pembukaan. Adapun sepanjang hari ini, rupiah bergerak rata-rta pada kisaran Rp 13.771 hingga Rp 13.806 per dollar AS.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/09/184100526/kesepakatan-pertemuan-trump-kim-jong-un-angkat-rupiah