Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

VUCA dan Dunia yang Tunggang Langgang

DALAM ranah bisnis, kata yang paling banyak dibahas pada era kekinian adalah VUCA. Ketika teknologi informasi begitu digdaya ber-revolusi dan digitalisasi menjadi anak kandungnya, dunia (bisnis dan umum keseluruhan) mengalami keadaan yang penuh gejolak (Volatility), tidak pasti (Uncertainty), rumit (Complexity), dan serba kabur (Ambiguity).

Alhasil VUCA menggeser dominasi dua kata magis yang selama puluhan tahun menjadi pola pikir bisnis: efektivitas dan efisiensi.

Kondisi VUCA dampaknya begitu kentara. Media cetak, angkutan, penginapan, tiketing untuk berbagai keperluan, pertokoan, hingga gaya hidup yang disebut konvensional semua mengalami gejolak dan ketidak-pastian luar biasa.

Sampai saat ini model bisnis usaha konvensional tersebut mengalami transformasi yang belum ditemukan bentuk pastinya.

Sementara yang berubah dalam bentuk digital ataupun yang memang sejak lahir sudah memiliki DNA digital,  masih mendapat kucuran dana maha besar yang entah sampai kapan menemukan titik baliknya.

Pun teknologi (komunikasi) yang diharapkan mempermudah kehidupan, justru pada banyak kasus menimbulkan kerumitan dan kekaburan baru yang tidak ditemukan dalam era manual. Rumor yang tercipta bisa memporak-porandakan tatanan yang sudah lama ada.

Dalam bisnis, bangunan produk dengan merek yang kokoh dan sudah berumur panjang, bisa runtuh karena rumor yang dihembuskan seseorang dari gawainya.

Rumah makan tanpa sertifikat halal, makanan mengandung bahan kedaluwarsa hingga proses pembuatan roti yang ternyata ada sarang tikusnya, merupakan contoh paling aktual  berita yang serba kabur yang akhirnya diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Alhasil pemilik usaha tersebut harus berjibaku mengatasi rumor tersebut.

VUCA memang membuat dunia bisnis tunggang langgang. Banyak profesi lama bertumbangan. Pun muncul profesi baru yang pada dekade lalu tidak terpikirkan. Aneka bisnis yang dijalankan dengan konvensional, harus bersahabat dengan wilayah digital.

Bisnis yang sejak awal didesain dengan platform digital, sangat rentan terdisrupsi dengan penemuan-penemuan baru yang lebih canggih sekaligus lebih murah. Pada ujung yang lain, perilaku konsumen mengalami perubahan signifikan. Konsumen memiliki banyak pilihan, sekaligus memiliki aneka keinginan dan kebutuhan yang sebelumnya tidak ada.

Dalam guncangan VUCA, ada satu yang tidak tergantikan; kepemimpinan. Peran pemimpin pada semua tingkat jabatan menjadi signifikan untuk bersiasat mengendalikan dunia yang tunggang langgang ini. Sang pemimpin harus memiliki tiga kompetensi guna sukses berselancar dalam gelombang VUCA.

Pertama adalah Visi. Keadaan yang penuh gejolak (volatility) hanya bisa diredam apabila pemimpin memiliki visi yang jelas dan sederhana untuk diwujudkan.

Pemimpin yang sukses

Adalah Hasnul Suhaimi sebagai contoh paripurna pemimpin yang memiliki visi demikian ini. Ketika diangkat menjadi CEO di XL pada September 2006, ia langsung mengampanyekan visinya kepada seluruh karyawan. Visi itu diramu dalam formulasi yang sederhana; 123.

Artinya XL harus menjadi nomer 1 (satu) dalam kualitas dan layanan serta menjadi nomer 2 (dua) dalam penguasaan pasar dalam waktu 3 (tiga) tahun. Visi itu terbukti. Hasnul mampu membawa XL menjadi nomer dua dalam penguasaan pasar dan kualitas jaringan XL terbaik dibanding provider seluler lainnya. Dicapai dalam dua setengah tahun.

Kedua adalah Inovasi. Revolusi teknologi informasi membuat sesuatu menjadi tidak pasti (uncertainty) dan serba kabur (ambiguity). Kekuatan bisnis masa lalu, dimana harus tepat dalam perencanaan dan peramalan (forecasting) mengalami degradasi.

Yang sudah direncanakan dengan baik dan diramalkan berbasis pada data-data yang sahih, bisa sekejap menjadi berantakan manakala muncul bisnis sejenis dengan platform berbeda yang jauh lebih murah dan mudah diakses konsumen. Tugas pemimpin untuk mengantisipasi dengan satu kata kunci: inovasi.

Majalah Forbes tahun 2018 ini menabalkan Jeff Bezos sebagai orang paling tajir sedunia. Kekayaannya ditaksir sebesar 112 miliar dolar AS.

Benar bahwa Amazon, perusahaan yang dibesutnya  salah satu pionir perdagangan dalam jaringan (online) yang mula pertama menjual buku. Perjalanan Amazon penuh liku.

Pernah begitu digdaya meninggalkan jauh para pesaing yang berbisnis sejenis. Pernah pula terperosok pada lubang nan dalam dan nyaris bangkrut karena bermunculan toko daring yang menjual aneka produk, di mana salah satu produk tersebut buku.

Lalu Amazon banting setir, melakukan inovasi bisnis. Tidak sekadar menjual buku, namun sebagai perusahaan penjaja aneka produk. Pun Amazon juga menjadi penyedia jasa teknologi. Berbagai hal yang terhubung dengan teknologi terbarukan, Amazon menyediakan.

Inovasi ini  menjadikan Amazon sebagai pengecer daring terbesar sekaligus penyedia jasa teknologi paling lengkap di dunia.

Alhasil harga saham Amazon terkerek naik dan pundi-pundi duit mengalir deras ke kantong Jeff Bezos.

Belajar dari Bezos, untuk menyiasati keadaan yang penuh ketidakpastian dan serba kabur, inovasi menjadi cara paling elegan.

Lincah

Ketiga adalah Lincah. Ini cerita tentang perusahaan yang berdiri tiga tahun setelah Indonesia merdeka. Tagline perusahaan ini begitu terkenal “Satu lagi dari Mayora.”

Dengan tagline ini, Mayora mengabarkan bahwa perusahaan rajin berinovasi. Mayora akan mengeluarkan produk baru terus menerus. Inovasi di Mayora tidak berdiri tunggal.

Ia didampingi dengan kualitas dan sistem yang sesuai dengan perkembangan jaman. Tiga pilar ini –inovasi, kualitas, sistem – yang membuat Mayora tetap lincah bergerak walaupun usianya sudah tidak muda lagi.

Kelincahan Mayora terbukti. Ketika bisnis barang-barang konsumen di Indonesia sudah dalam tingkat persaingan samudera merah, Mayora mampu konsisten bertumbuh lebih dari 20 persen pertahun. Jauh meninggalkan pesaingnya.

Produk baru Mayora, Teh Pucuk Harum dan Le Minerales mampu menggoncang pemain yang selama puluhan tahun menguasai pasar.

Lincah bergerak ini tentu dimulai dari pemimpin tertingginya. Sang CEO, Andre Sukendra Atmadja, penerus tahta Mayora yang miskin dalam publikasi namun kaya dalam kinerja, bergerak lincah membawa produk Mayora menjelajahi sembilan puluh negara yang ada di planet ini. Sebuah kewajaran apabila hari ini Mayora menjadi penguasa pasar barang-barang konsumen.

Lincah memang strategi untuk menjawab kerumitan (complexity) dalam bisnis.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/12/112553926/vuca-dan-dunia-yang-tunggang-langgang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke