Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjadi Raksasa Ekonomi

IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2018 mencapai 3,9 persen. Proyeksi ini naik 0,2 persen dari tahun 2017 di level 3,7 persen. Kenaikan proyeksi pertumbuhan ini didorong oleh perbaikan kinerja pertumbuhan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan zona euro.

Pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2017 diperkirakan di level 2,3 persen. Dan diperkirakan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Kebijakan reformasi pajak dan ekspansi fiskal melalui belanja infrastruktur pemerintah Trump akan mendongkrak kinerja pertumbuhan.

Situasi yang sama juga terjad di zona euro. Kinerja investasi di kawasan ini terus membaik yang tercermin dari tren kenaikan Purchasing Manager Index (PMI). Meski, kawasan ini juga masih terus berjuang untuk mengkungkit pertumbuhan konsumsi. Tren populasi yang menua (aging population) ditengarai jadi salah satu pemicu mandeknya kinerja konsumsi.

Membaiknya tren kinerja pertumbuhan di negara-negara maju itu memberi imbas positif pada kenaikan volume perdagangan global. Jika di tahun 2016, volume perdagangan dunia berada di bawah pertumbuhan ekonomi dunia (tren pelambatan masih terjadi). Maka, sejak tahun 2017, kondisi berbalik, di mana pertumbuhan volume perdagangan global di atas pertumbuhan ekonomi global (ekspansi terjadi).

Meningkatnya volume perdagangan dunia ini berimbas positif pada kenaikan harga minyak dan komoditas dunia. Pada tahun 2017, harga minyak dunia ditutup di atas 60 dollar AS per barrel. Padahal, di awal tahun 2016, sempat menyentuh level terendah, yaitu di bawah 30 dollar AS per barrel. Demikian juga dengan harga komoditas, seperti batu bara, aluminimum, nikel, dan tembaga terus bergerak naik.

Apresiasi harga minyak dan komoditas inilah yang turut mengungkit kinerja pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan, khususnya di kawasan pasar bertumbuh (emerging market) yang selama ini dikenal sebagai basis produsen minyak dan komoditas global.

Memang, akselerasi pertumbuhan ekonomi global ini masih tetap dibayang-bayangi oleh berbagai risiko yang berpotensi menghambat proses akselerasi ini. Itulah sebabnya, IMF mendorong kerja sama yang baik antara pemerintah dan otoritas di berbagai negara mengingat ekonomi dan pasar dunia yang sudah saling terkait.

Risiko jangka pendek yang patut diwaspadai  berasal dari dampak kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, khususnya Amerika Serikat. Reformasi pajak dan kenaikan lanjutan suku bunga acuan (federal funds rate/FFR) berpotensi memicu volatilitas, khususnya melalui jalur sektor keuangan. Aliran arus dana keluar (capital outflow) berpotensi terjadi, khususnya dari kawasan emerging yang bisa berimbas pada pelemahan nilai tukar dan menganggu stabilitas makroekonomi.

Adapun dalam jangka menengah, risiko yang harus dicermati ialah dampak dari kebijakan proteksionisme perdangangan (inward looking policy), ketegangan geopolitik, khususnya di Asia Timur dan Timur Tengah yang dapat memengaruhi arah harga minyak, faktor politik, seiring dengan adanya sejumlah pemilihan umum (election) di sejumlah negara, seperti Indonesia, Argentina, Kolombia, Italia, dan Meksiko yang berpotensi menghambat proses reformasi ekonomi, serta faktor perubahan iklim.

Industrialisasi

Itulah sebabnya, akselerasi perekonomian global ini harus dijadikan momentum oleh Indonesia untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Harus diakui, bahwa dalam tiga tahun terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi domestik cenderung stagnan di level 5 persen. Padahal, hasil ini masih jauh di dari potensi yang dimiliki.

Oleh sebab itulah, kenaikan harga komoditas global yang terjadi saat ini harus dijadikan momentum untuk mempercepat reformasi sektor manufaktur. Indonesia telah lama mengalami proses deindustrialisasi.

Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor manufaktur yang terus menicut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Menjual sumber daya alam dalam (SDM) dalam bentuk raw material/semi produk harus secara perlahan dikurangi. Sebaliknya, penciptaan nilai tambah melalui proses industrialisasi harus terus didorong.

Perlu dicatat bahwa sektor industri merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja (padat karya). Harapannya, dengan kuatnya sektor industri, maka aliran investasi langsung bisa masuk untuk menciptakan banyak tenaga kerja.

Bukan, misalnya, seperti tahun 2017 yang nilai investasi langsung tumbuh sekitar 13 persen,  tetapi jumlah lapangan kerja yang dihasilkan menurun dari tahun sebelumnya. Aliran investasi itu lebih dominan masuk ke sektor-sektor yang padat modal (capital intensive) yang terbatas dalam menyerap tenaga kerja.

Tentu, untuk bisa merealisasikan sektor industi yang kuat dibutuhkan banyak syarat. Salah satunya, tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan terampil.

Sayangnya, menurut data Badan Pusat Statisik (BPS), dari 131 juta angkatan kerja Indonesia sampai Agustus 2017, sekitar 60 persen merupakan lulusan SD dan SMP yang tingkat keterampilannya terbatas.

Untuk mengatasi ini, pemerintah telah mencanangkan untuk mereformasi dunia pendidikan, khususnya pendidikan vokasi yang diarahkan untuk lebih fokus pada keterampilan. Balai-balai latihan kerja (BLK) juga akan kembali dibangkitkan.

Selain itu, pemerintah juga mengkaji pemberian insentif fiskal bagi industri yang menerapkan  pendidikan vokasi dan menerapkan inovasi penelitian dan pengembangan.

Itulah sebabnya, reformasi ini harus terus dikawal dan dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan, sehingga tidak ‘menguap’ di tengah jalan, seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Jika Indonesia bisa merealisasikan sektor industri yang kuat yang didukung oleh SDM yang terampil serta regulasi yang baik, maka jalan menuju negara dengan perekonomian raksasa seperti yang diramalkan oleh banyak pihak bisa terwujud.

Sebagai penutup, Indonesia jangan mudah tergoda dan beralih memperbesar industri digital, (meski itu sebuah keniscayaan ke era ‘now’, imbas dari inovasi yang tak bisa dikungkung), tanpa memperkuat sektor industrinya.

Bagaimanapun, tidak ada negara dengan kekuatan ekonomi raksasa, tanpa ditopang oleh sektor industri yang kuat dan maju. 

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/17/073900426/menjadi-raksasa-ekonomi

Terkini Lainnya

Punya Manfaat Ganda, Ini Cara Unit Link Menunjang Masa Depan Gen Z

Punya Manfaat Ganda, Ini Cara Unit Link Menunjang Masa Depan Gen Z

BrandzView
Asosiasi Dukung Pemerintah Cegah Penyalahgunaan Narkoba pada Rokok Elektrik

Asosiasi Dukung Pemerintah Cegah Penyalahgunaan Narkoba pada Rokok Elektrik

Whats New
Impor Bahan Baku Pelumas Tak Lagi Butuh Pertek dari Kemenperin

Impor Bahan Baku Pelumas Tak Lagi Butuh Pertek dari Kemenperin

Whats New
Cara Isi Token Listrik secara Online via PLN Mobile

Cara Isi Token Listrik secara Online via PLN Mobile

Work Smart
Pencabutan Status 17 Bandara Internasional Tak Berdampak ke Industri Penerbangan

Pencabutan Status 17 Bandara Internasional Tak Berdampak ke Industri Penerbangan

Whats New
Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Whats New
Adu Kinerja Keuangan Bank BUMN per Kuartal I 2024

Adu Kinerja Keuangan Bank BUMN per Kuartal I 2024

Whats New
Setelah Investasi di Indonesia, Microsoft Umumkan Bakal Buka Pusat Data Baru di Thailand

Setelah Investasi di Indonesia, Microsoft Umumkan Bakal Buka Pusat Data Baru di Thailand

Whats New
Emiten Persewaan Forklift SMIL Raup Penjualan Rp 97,5 Miliar pada Kuartal I 2024

Emiten Persewaan Forklift SMIL Raup Penjualan Rp 97,5 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

Whats New
Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Whats New
Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Whats New
IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

Whats New
Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Whats New
BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke