Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Media Sosial dan Semangat Millenial 4.0

Pada awal berkembangnya, inovasi teknologi digital yang melahirkan media sosial dikagumi sebagai penciptaan yang mendorong peningkatan peradaban. Teknologi ini menyambungkan yang terpisah, seraya menihilkan jarak.

Pada konteks komunikasi, media sosial berhasil melampaui harapan penggunanya, dengan kemudahan interaksi yang disangga oleh pelbagai aplikasi-aplikasi.

Namun, pada titik lain, media sosial ternyata melampaui ekspektasi pengguna, bahkan penciptanya: media sosial mencipta jarak baru bagi ikatan sosial antar manusia.

Benar bahwa, pada beberapa konteks, media sosial menyambungkan jarak. Namun, pada sisi bersamaan, media sosial mencipta halangan komunikasi bagi orang-orang terdekat.

Lewat contoh kasus terbaru, halangan ini berupa mesin gigantik teknologi yang seolah tidak bisa dikendalikan manusia, menggeser "pencerahan" menjadi kemurungan.

Proses pemilihan umum dan kontestasi politik, yang menjadi harapan bagi proses mencipta pemimpin yang memadai, terusik oleh skandal teknologi yang mengguncang. Data-data dari akun pribadi di media sosial, yang diolah sebagai analisa persepsi dan psikologi massa, membikin repot dan membalik prediksi kepemimpinan di berbagai belahan dunia.

Facebook mengalami goncangan hebat di seluruh dunia dengan skandal kebocoran data dalam kasus Cambridge Analityca. Data-data yang tersebar di Facebook disedot menggunakan aplikasi survei kepribadian yang dikembangkan oleh Global Science Research (GSR), yang dikomando Aleksandr Kogan, pakar psikologi dan data scientist di Universitas Cambridge.

Selanjutnya, dengan aplikasi dan metode sistematis, data-data personal dari jutaan akun Facebook di seluruh dunia disedot untuk kepentingan akademis.

Proses ini berlanjut dengan analisa dan data yang lalu secara ilegal dijual kepada Cambridge Analytica, dimanfaatkan untuk mempengaruhi emosi pemilih. Data-data yang dianalisa kemudian dipetakan bagaimana impresi, respons, kecenderungan psikologis, sekaligus pilihan politik untuk kontestasi politik.

Dari analisa data tersebut, konsultan politik menyebarkan hoaks, kabar yang dimanipulasi, dan beberapa mekanisme informasi terselubung untuk mempengaruhi psikologi pemilih.

Olahan data ini, yang dikerjakan Cambridge Analytica, berhasil mempengaruhi proses pemilihan presiden di Amerika Serikat. Masyarakat negeri itu gelisah dengan perkembangan teknologi masif yang justru menikam dari belakang, menusuk proses demokratisasi.

Lubang gelap media sosial

Bocornya data Facebook inilah yang menjadi ironi dan lubang gelap media sosial. Kegelisahan yang senada juga terjadi di Indonesia, dengan ancaman dari kebocoran data-data media sosial untuk kepentingan kontestasi politik.

Induk perusahaan Cambridge Analityca, Strategic Laboratories Group (SCL) disebut telah mempengaruhi proses pemilu di 40 negara, termasuk Indonesia.

Menanggapi badai teknologi ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melayangkan Surat Peringatan tertulis kedua (SP II) kepada perusahaan Facebook pada 10 April 2018.

Surat peringatan ini merupakan tindak lanjut Surat Peringatan I, yang telah dilayangkan Kominfo pada Facebook pada 5 April 2018 terkait kebocoran data pengguna di Indonesia.

Menurut Kominfo, Facebook telah memberikan keterangan resmi atas tiga surat yang telah dikirimkan Kominfo terkait kebocoran data. Namun, keterangan pihak Facebook masih dianggap kurang memadai.

Menuju citizen 4.0

Pengguna internet di Indonesia adalah terbesar ke-4 di Asia. Dari riset internet World Stats pada 2016, pengakses teknologi internet di negeri ini berjumlah sekitar 78 juta.

Adapun penetrasi atau rasio pengguna internet di Indonesia ditaksir sekitar 30,5 persen. Di kawasan Asia, pengguna internet terbesar yakni Cina (674 juta/49,5 persen populasi), India (375 juta/30 persen), Jepang (115 juta/90,6 persen), dan kemudian Indonesia.

Di bawah Indonesia, negara-negara berkembang mengikuti penetrasi dan pertumbuhan teknologi internet, yaitu Bangladesh (53,9 juta), Vietnam (47,3 juta), Filipina (47,1 juta) , Korea Selatan (45,3 juta), Thailand (38 juta) dan Pakistan (29,1 juta).

Data ini sejalan dengan perkembangan pengguna teknologi internet yang masif di Asia yang mencapai 4 miliar, dengan penetrasi 40,2 persen. Perkembangan signifikan akan menjadi peluang bagi Indonesia jika dikelola secara komprehensif.

Dari risetnya, Hermawan Kartajaya memperkenalkan tren "Citizen 4.0" untuk melihat perubahan komunikasi antar-manusia. Menurut dia, interaksi antar manusia sekarang ini semakin horisontal, inklusif, dan sosial, yang direkatkan oleh teknologi informasi serta media sosial yang menjangkau populasi manusia secara masif.

Menurut Kartajaya, perlahan-lahan terjadi pergeseran pola komunikasi yang tidak lagi memperhitungkan bangsa, suku, agama, serta latar belakang kultur manusia. Setiap orang berproses menjadi bagian dari "citizen of the world".

Gagasan Hermawan Kartajaya ini merupakan edisi lanjutan dari karya risetnya bersama Philip Kotler, yang dipublikasikan pada 2016, yaitu Marketing 4.0, Moving from Traditional to Digital.

Pada karya tersebut, Philip Kotler dan Hermawan Kartajaya memprediksi bagaimana perubahan-perubahan pola komunikasi dan marketing dalam mencipta peluang bisnis di era digital.

Perubahan platform dan inovasi teknologi digital mempengaruhi interaksi manusia pada masa mendatang, tidak hanya dalam bisnis dan pemasaran tetapi juga dalam interaksi kewarga negaraan (citizenship), yaitu menjadi warga global yang terintegrasi dengan teknologi digital sebagai lanjutan dari dampak inovasi digital.

Tentu saja, badai teknologi digital yang mengguncang Facebook harus diwaspadai sebagai lubang hitam media sosial. Namun, perkembangan teknologi dan inovasi media sosial harus juga kita maknai secara bijak, yaitu menggunakan untuk kebajikan seraya menyebarkan pencerahan.

Kita menunggu generasi muda Indonesia mencipta teknologi-teknologi yang melampaui zaman, memberi solusi atas tantangan ekonomi-pendidikan-sosial warga Indonesia. Generasi millenial di era 4.0 harus mempunyai semangat dan kreativitas untuk terus mencipta peluang, membuka terobosan.

Tentu saja, peran pemerintah penting dalam mendukung inovasi generasi muda. Kebijakan, perlindungan hukum, regulasi, sekaligus dukungan teknologi menjadi sangat krusial.

Presiden Joko Widodo pernah menggaungkan wacana Indonesia sebagai Negara Ekonomi Digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Jika tidak didukung dengan kebijakan komprehensif, pengguna internet dan teknologi media di negeri ini akan terseret pada lubang gelap media sosial.

Kita tidak Indonesia terpeleset ke kubangan lubang gelap media sosial, bukan?

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/07/112544326/media-sosial-dan-semangat-millenial-40

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke