Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dua Puluh Tahun Krisis Moneter

Memasuki September 1997, Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia) bersujud di titik terendahnya. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk membayar utang. Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dollar AS.

Mendadak pada Januari 1998, dollar menguat menyentuh level Rp 11.000. Hingga Juli 1998, rupiah terus merosot sehingga 1 dollar AS setara dengan Rp 14.150.

Pada 31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan, tetapi hanya mampu meningkat hingga Rp 8.000 untuk 1 dollar AS.

Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih jauh dari krisis karena beberapa pandangan ketika itu menyatakan bahwa Indonesia berbeda dengan Thailand.

Indonesia memiliki inflasi rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari 900 juta dollar AS, cadangan devisa cukup besar, lebih dari 20 miliar dollar AS, dan sektor perbankan masih baik-baik saja.

Sebenarnya pada tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dalam bentuk dollar AS. Hal itu dilakukan karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa rupiah menguat atas dollar AS. Jadi, pinjaman dalam bentuk dollar dianggap jauh lebih murah.

Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soeharto saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga melahirkan ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional.

Yang tak kalah penting adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 miliar dollar AS, sekitar 72,5 miliar dollar AS adalah utang swasta yang dua per tiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 miliar dollar AS akan jatuh tempo pada 1998. pada saat itu, cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 miliar dollar AS.

Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah, yang ditutup pada level Rp 4.850 PER dollar AS pada 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000 per dollar AS pada 22 Januari 1998. Artinya, rupiah terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.

Risikonya, rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998. RAPBN dinilai tak realistis.

Krisis yang menandakan kerapuhan fundamental ekonomi tersebut dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional mendadak terlilit kesulitan besar.

Peringkat internasional bank-bank besar tersebut memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut lengser ke level di bawah "junk" atau menjadi sampah.

Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut.

Sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, adalah sektor yang terpukul cukup parah. Risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.

Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar per kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar per kapita tahun 1997 menciut menjadi 610 dollar per kapita tahun 1998.

Dua dari tiga penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada dalam kondisi sangat miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.

Halaman selanjutnya Butuh Terobosan Berani Jokowi-JK


Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah menjadi  nol persen kuartal terakhir 1997.

Angkanya terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, kontraksi 16,5 persen kuartal II 1998, dan terus terkontraksi 17,9 persen kuartal III 1998.

Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah mencapai 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah.

Itu terjadi karena dunia bisnis sudah tercekik akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.

Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Kini tak terasa  sudah 20 tahun masa itu berlalu. Telah berlangsung beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional.

Secara umum, semuanya berjalan baik. Pelan-pelan kondisi ekonomi juga mulai tenang. Setiap pemerintahan baru yang terbentuk juga mendapati tantangan dan peluangnya masing-masing.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan dari kepemimpinan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sama, yakni terobosan yang berani dan tidak hanya berhenti di zona gembar-gembor infrastruktur.

Faktanya, Jokowi-JK tidak lagi kebagian booming commodity sebagaimana era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono.

Booming commodity yang diprogresifkan oleh lonjakan harga komoditas dunia tersebut menggenapkan rata-rata pertumbuhan ekonomi di era SBY menjadi tercatat lebih baik. Jika tidak, maka rata-rata pertumbuhan ekonomi sejak 1997 akan tergerus sekira 1,5 persen per tahun.

Rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia dari tahun 1997 sampai 2013 hanyalah 3,8 persen. Jika kita tidak memasukkan krisis keuangan Asia alias memulai analisis dari tahun 2000, rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia hanyalah 4,5 sampai tahun 2006.

Nah, peningkatan harga komoditas (commodity boom) menambah 1,5 persen terhadap pertumbuhan PDB Nasional. Setelah peningkatan harga komoditas menggandakan nilai ekspor Indonesia alias peningkatan kira-kira 100 miliar dollar AS, barulah rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia menjadi 6 persen.

Jadi sebagaimana dicatat dengan apik oleh Gustav Papanek (2014d), sebagian peningkatan tersebut terjadi karena peningkatan harga-harga barang yang secara tak terduga mewakili sekitar 5 persen pertumbuhan PDB.

Meskipun sebagian dari harga yang tak terduga tersebut terdiri dari keuntungan yang dikirimkan ke luar negeri, sebagian lagi masih berada di dalam negeri dan dianggap telah berhasil memberikan efek pengganda.

Pendeknya adalah bahwa ledakan harga komoditas menambah 1,5 persen per tahun kepada pertumbuhan PDB Nasional dari tahun 2006 hingga 2011. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi hanya akan mampu tercatatkan angka sekira di bawah 5 persen.

Dan celakanya, kemungkinan peluang terjadinya lonjakan harga komoditas seperti itu lagi sangatlah kecil, bahkan sangat mustahil dalam rentang beberapa tahun mendatang.

Di tangan Jokowi-JK, pertumbuhan ekonomi terbilang cukup stabil. Jika dibandingkan target yang ditetapkan dalam RPJMN atau APBN, hasilnya memang agak kurang mentereng.

Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya bertumbuh 4,88 persen, meleset sekitar 0, 82 persen dibanding target APBN dan tergelincir 0,92 dibanding Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Angka itu tumbuh jadi 5,02 persen pada 2016, meleset tipis 0,12 dibanding APBN dan 1,8 persen dibanding RPJMN.

Pemerintah berhasil menorehkan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017 sebesar 5,06 persen, yang berarti meleset 0,16 dibanding APBN dan 2,06 dibanding RPJMN. Sekalipun demikian, secara komparatif torehan pemerintah masih sangat gemilang.

Untuk melengkapi itu, pemerintah masih memerlukan terobosan lain, terutama terkait angka pertumbuhan yang lebih porgresif dan kualitas pertumbuhan itu sendiri.

Sekalipun secara komparatif angka yang diraih cukup menggembirakan, sejatinya secara domestik Indonesia masih memerlukan angka yang jauh lebih tinggi agar kue ekonomi yang tersajikan bisa mengimbangi lonjakan angkatan kerja yang kian besar (bonus demografi), mengurangi pengangguran, dan memperkecil angka kemiskinan.

Oleh karena itu, memori krisis moneter 1997/1998 harus tetap kita jadikan sebagai reminder penting bahwa apa pun alasannya, pemerintah harus mengambil semua jalan yang mungkin untuk menambal kerapuhan ekonomi yang bisa berakibat krisis.

Karena, apa pun alasaanya, kerapuhan ekonomi yang bisa berujung pada krisis pada akhirnya akan mempersempit peluang rakyat banyak untuk mendapatkan "hak untuk hidup sejahtera". Semoga.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/14/060600926/dua-puluh-tahun-krisis-moneter

Terkini Lainnya

Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Whats New
Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Whats New
Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Whats New
Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi 'Feeder' bagi Malaysia dan Singapura

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi "Feeder" bagi Malaysia dan Singapura

Whats New
Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Whats New
Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Whats New
Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Whats New
Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada  Kuartal I 2024

Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada Kuartal I 2024

Whats New
Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Work Smart
Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Whats New
Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Whats New
BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Whats New
May Day 2024, Pengemudi Ojek Online Tuntut Status Jadi Pekerja Tetap

May Day 2024, Pengemudi Ojek Online Tuntut Status Jadi Pekerja Tetap

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke