Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tarik Ulur Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Indonesia

Target ini merupakan respon atas disetujuinya Perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang.

Namun nyatanya perjalanan untuk mencapai target tersebut bukan tanpa kendala. Pengusaha EBT masih mengeluhkan bunga pinjaman modal yang dianggap terlalu tinggi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini dirinya sedang menyusun skema pembayaran campuran ramah lingkungan (green financing) dengan biaya murah.

Baca: Listrik Berbasis EBT Meningkat, General Electric PHK 12.000 Karyawan

"Kita bikin pembiayaan murah yang blended. Perbankan yang komerisal dicampur dengan perusahaan non perbankan, non komersial. Kalau komerisal itu mungkin (pembiayaannya) ketinggian (terlalu mahal), makannya dicampur supaya lebih rendah. Itu skema saja, bikin skema baru," ujarnya ketika ditemui awak media di Gedung Bappenas, Selasa (22/5/2018).

Skema green financing ini merupakan bentuk insentif yang diberikan kepada pengusaha atau negara untuk mengembangkan usaha yang ramah lingkungan.

"Jadi kalau insentif ya sifatnya harus berbiaya murah. Jangan sampai green financing hanya digunakan untuk green project, tapi juga punya cost yang tidak terlalu tinggi," jelasnya.

Selain itu, Bambang mengatakan tingkat pengembalian modal proyek (internal rate return/RRT) berada pada kisaran 13 hingga 15 persen agar penngembangan proyek EBT lebih bergairah. "Ya tergantung kasus per kasus, mungkin 13-15 persen," ujar dia.

Keluhan Pengusaha

Sementara itu, Perwakilan Asosiasi Produsen Listrik Tenaga Biomassa (APLIBI) Jonathan Handojo mengeluhkan kurangnya peraturan pemerintah yang mendukung pengembangan EBT di Indonesia.

Selain itu, menurutnya PLN sebagai pemain tunggal dalam pengembangan listrik di Indonesia cenderung membatasi, dengan dalih pihak swasta tidak boleh mengambil keuntungan dari hasil penjualan listrik kepada PLN.

Baca:

"Menteri ESDM dan Dirut PLN terang-terangan ngomong untuk (pengusaha) EBT tidak boleh ambil marjin. Kalau kita enggak boleh ambil marjin, kita bayar utang perbankan pakai apa? Sudah diambil 85 persen dari HPP, masih enggak boleh dapat untung," keluhnya di kesempatan yang sama.

Menurut dia, pemerintah perlu untuk menerapkan harga bahan baku untuk biomassa, seperti Domestic Market Obligation (DMO) pada batubara.

Usulan ini diajukan mengingat harga bahan baku biomassa, salah satunya cangkang sawit dianggap terlalu mahal. Saat ini harga jual cangkang kelapa sawit mencapai 120 dollar AS per ton. Katanya, itu adalah harga yang ditawarkan pengusaha Jepang kepada petani kelapa sawit lokal.

"Sekarang kalau orang mau bikin listrik dari bio massa, bahannya cangkang kelapa sawit. Sekarang harganya 120 dollar AS per ton. Gila enggak? Lah kita disuruh beli berapa? Mana bisa kami melawan? Yang punya cangkang kelapa sawit tentu saja lebih suka jual ke Jepang. Mereka dapat dollar. Dari situ saja, kita kesulitan. Omong kosonglah kalau kita negara begini, di atur-atur," tambahnya.

EBT Dianggap Terlalu Mahal

Di sisi lain, PLN menganggap beberapa jenis EBT membutuhkan biaya eksplorasi yang terlampau mahal.

Senior Manager EBT PT PLN Budi Mulyono mengatakan, usaha yang diperlukan untuk mendapatkan energi terbarukan tersebut cukup besar mengingat sulitnya medan yang harus ditempuh, seperti pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

"Di bidang EBT ini beberapa masih mahal, karena pertama, secara skala ekonomi belum tercapai. Kedua, Ada jenis EBT yang cara mendapatkannya susah," ujarnya.

Dia mengilustrasikan, dalam PLTP, biaya yang diperlukan, mulai dari eksplorasi hingga eksploitasi sangat tinggi. Sehingga, banyak perusahaan pengembang yang membebankan seluruh biaya persiapan kepada PLN.

"Jadi biayanya mahal. Padahal ada misi PLN tidak boleh rugi," ujarnya.

Budi menambahkan, dirinya masih mempertanyakan target dan pencapaian bauran penggunaan EBT di Indonesia, mengingat hingga saat ini, pemanfaatan EBT baru 7 hingga 8 persen.

"Sebetulnya target yang dibilang di Paris Agreement kalau kita harus 23 persen EBT. Masih kami pertanyakan," tukasnya.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/23/053159926/tarik-ulur-pengembangan-energi-baru-terbarukan-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke