Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bank Indonesia Tak Bisa Sendirian Jaga Rupiah

Kemarin, Selasa (22/5/2018), data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menunjukkan kurs rupiah mencapai Rp 14.178 per dollar AS atau melemah dibandingkan hari sebelumnya yang sebesar Rp 14.176 per dollar AS. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah tercatat masih melemah sekitar 4,5 persen.

Mengutip Kontan.co.id, Rabu (23/5/2018), Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga rupiah melalui intervensi pasar. Namun, sejauh ini, rupiah masih belum kembali ke titik normalnya.

Baca: Gejolak Rupiah Jadi Catatan Bagi Gubernur BI Berikutnya

Di mata bank sentral, upaya penguatan rupiah tidak bisa sebatas pada intervensi BI, melainkan juga harus digotong bersama pemerintah. Sebab, salah satu upaya paling krusial memberikan amunisi penguatan rupiah adalah menambal defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Di sisi ini, peran pemerintah jelas sangat vital.

Nah, tahun ini, BI memproyeksikan, defisit transaksi berjalan akan mencapai 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi ini berada pada titik paling besar dari proyeksi sebelumnya antara 2,2 persen-2,3 persen terhadap PDB.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, proyeksi melebarnya defisit transaksi berjalan itu berbasis pada realisasi CAD pada kuartal I-2018 yang sudah mencapai 2,15 persen atau 5,5 miliar dollar AS. Angka itu atau naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatatkan defisit 1 persen terhadap PDB.

Agus menilai, angka ini cukup besar. "Kalau setahun, itu kira-kira ada di 2,3 persen dari PDB. Secara besaran 23 miliar dollar AS," ucapnya, Selasa (22/5).

Makin lebarnya CAD terjadi seiring dengan lonjakan impor pada kuartal I-2018. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor kuartal I-2018 tumbuh 12,75 persen (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor 6,17 persen (yoy). Kenaikan impor itulah yang menurut Agus, mendorong CAD.

Meski naik, persentase ini tetap berada di bawah 3 persen dari PDB, sehingga dinilai masih aman dan terjaga. "Kalau masih di bawah 3 persen dari PDB, kami melihat masih sustainable," katanya.

Harus surplus

Sebagai catatan, neraca transaksi berjalan Indonesia terus defisit sejak tahun 2012. Tahun lalu, CAD tercatat sebesar 1,7 persen terhadap PDB. Salah satu penyumbang terbesar defisit adalah peningkatan impor barang modal, barang mentah, dan barang setengah jadi.

Walau masih aman, membesarnya nilai CAD berpengaruh besar terhadap nilai tukar rupiah. Agus menyatakan, sulit bagi rupiah menguat bila transaksi berjalan masih defisit besar. "Jika impor lebih besar dari ekspor, tak mungkin rupiah menguat. Kami mesti perbaiki," ujar Agus.

Defisit transaksi bisa ditambal dengan menarik investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI) maupun asing masuk Surat Utang Negara (SUN). Selain itu, harus ada reformasi menyeluruh, mulai dari sektor riil, fiskal, hingga moneter yang mengarah pada peningkatan kualitas ekspor. "Thailand sekarang surplus 11 persen terhadap PDB, Singapura 20 persen terhadap PDB, jadi kita harus berusaha untuk surplus," kata Agus.

Baca: Gubernur BI Pastikan Rupiah Tak akan Melemah hingga Rp 17.000 Per Dollar AS

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, tekanan pada rupiah ke depan masih akan kuat. Paling tidak, ini akan terjadi sampai kuartal III-2018. "Masih sangat tergantung perkembangan ekonomi AS. Setidaknya, sampai kuartal III masih kuat tekanannya," kata David.

David melihat, pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh pengaruh eksternal. "Ini semata-mata karena ekspektasi kenaikan bunga bank sentral AS (The Fed) yang lebih banyak dari perkiraan," kata dia.

Kondisi ini memberikan tekanan pada semua mata uang negara berkembang termasuk rupiah. Sebab, akibat lanjutan dari ekspektasi kenaikan bunga The itu, biaya carry trade jadi naik pasca kenaikan yield Surat Utang Negara AS (US Treasury) ke arah 3,3 persen dan memicu naiknya London Interbank Offered (Libor). "Banyak fund melepaskan posisi short dollarnya," jelasnya.

Dia menilai bahwa rupiah lemah bukan karena kenaikan suku bunga 7DRR yang kurang tinggi. "Kenaikan 25 bps saya pikir sudah tepat dan mungkin masih perlu dinaikkan lagi seiring kenaikan biaya dana di pasar uang internasional," ujar David.

Lana Soelistianingsih, Chief Economist Samuel Sekuritas Indonesia menilai, pasar sekarang cenderung ambil posisi beli sebab mengganggap pelemahan akan berlanjut dan BI akan menaikkan lagi suku bunga. Apalagi jika melihat siklusnya, ada pembayaran dividen pada akhir Mei dan awal Juni. "Tekanan beli akan ada di sana," kata. (Ghina Ghaliya Quddus)

Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: BI tak bisa sendirian menjaga rupiah

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/23/113739026/bank-indonesia-tak-bisa-sendirian-jaga-rupiah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke