Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tata Kelola Sawit Nasional

Walalupun sebenarnya jika ditilik dari data yang ada, pasar CPO Indonesia ke Uni Eropa masih berada di bawah China, India, dan Pakistan.

Isu deforestasi menjadi sangat sensitif di industri kelapa sawit. Terlepas apapun motifnya, alasan tersebut akhirnya melatarbelakangi Perancis untuk mengenakan pajak progresif bagi produk CPO Indonesia.

Kebijakan tersebut direncanakan berlaku pada 2017 lalu dengan kisaran pajak progresif 300 euro per ton dan direncanakan akan terus naik hingga 2020 menjadi sebesar 900 euro per ton.

Tetapi syukurlah, belakangan akhirnya Perancis melunak dengan mau menurunkan pajak dari semula 300 euro menjadi 90 euro per ton, setelah upaya lobi keras yang terus dilakukan pemerintah Indonesia.

Seiring dengan itu, tuntutan regulasi pun semakin ketat mengatur keberadaan perkebunan kelapa sawit. Urgensi Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) terus disuarakan.

Sebagai catatan saja, RSPO merupakan asosiasi nirlaba internasional yang berdiri pada tahun 2004 dan mempersatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil/CSPO).

Sementara ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.

Nah, kegelisahan itu akhirnya menggerakkan semua produksi untuk diproses di Seruyan dan disertifikasi sebagai produk sawit berkelanjutan atau lebih dikenal dengan singkatan sertifikasi yurisdiksi.

Sikap Pemerintah

Bagaimana pemerintah menyikapi tudingan bahwa CPO dan sawit Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan?

Selain terus memperkenalkan RSPO dan ISPO, sebenarnya pada tahun 2016 lalu, pemerintah sudah menyiapkan moratorium untuk lahan kelapa sawit dan lahan tambang.

Menurut Presiden RI Joko Widodo kala itu, lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini dinilai sudah cukup dan dapat ditingkatkan lagi kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi yang ada. Presiden menyebutkan, asalkan pemilihan bibitnya benar, serta dikerjakan dengan baik, maka produksi sawit diperkirakan bisa lebih dari dua kali lipat.

Keputusan pemerintah untuk memoratorium lahan kelapa sawit tersebut diharapkan menjadi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas produksi kebun kelapa sawit yang dimiliki masyarakat.

Data sementara menunjukan bahwa tingkat produktivitas perkebunan rakyat masih sekitar 4 juta ton per tahun. Jumlah itu tentu masih bisa ditingkatkan setara dengan tingkat produktivitas perkebunan milik perusahaan swasta, yakni menjadi 6 juta-8 juta ton per tahun.

Kebijakan tersebut memang selayaknya harus dicermati dan dievaluasi secara inkremental dan simultan karena masih banyak warga yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit.

Terlebih lagi, hari ini sawit telah menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia di kancah regional dan global. Harapannya, ada aturan teknis lebih lanjut sehingga upaya-upaya untuk meningkatkan produktifitas petani sawit bisa segera dicarikan bentuk teknis operasionalnya, baik oleh pemerintah pusat, daerah, maupun pemangku kepentingan lainya.

Dari data yang ada, hingga hari ini, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 14,3 juta hektar (ha), terluas di dunia. Sementara itu, produksi minyak sawit kasar (CPO) tercatat sekitar 32 juta ton setiap tahun.

Dengan demikian, Indonesia juga menjadi penghasil CPO terbesar sedunia, setingkat di atas Malaysia. Bahkan jika dilakukan perbaikan sistem produksi dengan bibit unggul dan perawatan optimal, produksi CPO diperkirakan masih bisa ditingkatkan.

Untuk itu, sangat bisa dipahami mengapa pemerintah mempertimbangkan untuk tidak lagi memberikan izin konsesi baru perkebunan kelapa sawit.

Pasalnya, mendorong perbaikan pengelolaan kebun kelapa sawit petani lokal skala kecil lewat peningkatan kualitas bibit dan peremajaan yang tepat akan jauh lebih baik ketimbang mengorbankan lahan-lahan yang seharusnya bisa dijadikan jantung dan paru-paru dunia (lahan konservasi) untuk para pemodal yang selama ini terkesan sangat kapitalistik dalam memperlakukan bisnis sawit.

Pembakaran lahan

Selama ini, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit kerap melakukan sistem lama, yakni dengan pembakaran. Konsekuensinya, kepulan asap sering terjadi dan menyesakkan nafas. Asap yang dihasilkan sarat dengan kandungan sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).

Kedua senyawa ini kemudian bisa menetaskan hujan asam yang sangat berbahaya bagi tanaman pangan. Dari sisi yang lain, kondisi itu tentu bisa pula menjadi ancaman bagi kebijakan penguatan kedaulatan pangan ke depannya.

Moratorium yang diberlakukan diharapkan akan dapat menghentikan praktik pembakaran lahan yang merusak lingkungan hidup. Padahal, jika mau jujur, pembakaran lahan sesungguhnya menunjukkan bahwa kualitas peradaban pemilik modal semakin menurun dalam merawat lingkungan.

Pembakaran hutan sama artinya melenyapkan keanekaragaman yang menjadi sumber pangan bagi umat manusia di masa datang. Pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran di Aceh Singkil, misalnya, hanya sedikit memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian dan pendapatan asli daerah, tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan.

Selama ini, pembukaan lahan untuk ekspansi sawit di daerah gambut dengan jalan pembakaran acap menuai bencana asap. Penyemprotan di permukaan hamparan hingga penyuntikan ke dalam lahan gambut dengan air bertekanan tinggi tidak membuat asap berhenti mengepul.

Konon kian masifnya pembakaran lahan telah menuai efek pemanasan global yang menetaskan perubahan iklim.

Fenomena tersebut telah memengaruhi curah hujan dan peningkatan suhu udara. Hingga hari ini, suhu bumi sudah meningkat sekitar 1,5 derajat celsius dibandingkan dengan seabad silam.

Bumi telah memperlihatkan perubahan iklim secara dramatis. Musim cenderung tidak stabil yang memunculkan cuaca ekstrem berupa badai El Nino. Dampaknya sudah mulai tampak di sektor pertanian. Gagal panen sudah kerap menghampiri petani.

Penurunan produktivitas lahan pertanian pangan di sentra sawit tidak terhindarkan. Defisit dan gejolak pangan sudah terjadi akibat gangguan siklus air di musim kemarau panjang yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim dan pola tanam.

Sebagian besar petani hanya bisa pasrah atas dampak buruk kekeringan panjang yang terjadi di sentra-sentra pertanian. Sawah yang sudah ditanami padi menjadi makin kering, dengan lumpur mengeras dan pecah-pecah.

Risiko lainnya, pemerintah dipaksa membuka keran impor beras 1,5 juta ton untuk menghadapi dampak El Nino yang menyebabkan musim kemarau panjang di tahun 2015.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/23/204200526/tata-kelola-sawit-nasional

Terkini Lainnya

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Whats New
Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Earn Smart
Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Earn Smart
Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Whats New
Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke