Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Harga Telur Ayam Meroket, Ada Apa Sebenarnya?

Terhitung sejak Jumat pekan lalu, harga telur ayam di pasar sudah mengalami kenaikan. Di Pasar Palmerah, misalnya, harga telur ayam tembus hingga Rp 29.000 per kilogram.

Bahkan, ada yang menjual hingga harga Rp 32.000 per kg di tingkat eceran.

Salah seorang pedagang di Pasar Palmerah Eko Prasetyo menyebutkan bahwa kenaikan harga hingga Rp 29.000 tersebut terjadi sekitar 5 hari yang lalu.

"Pas puasa kemarin sekitar Rp 22.000 sampai Rp 24.000 (per kilogram), terus pas habis Lebaran baru mulai naik dari Rp 25.000 sampai sekarang Rp 29.000," ujar Eko kepada Kompas.com.

Hal sama pun diamini Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri.

Dia menyatakan bahwa melonjaknya harga telur di pasaran bukan terjadi dalam waktu dekat ini. Namun, dalam beberapa hari terakhir ini kenaikan harganya sangat tinggi.

"Persoalan telur ini sebenarnya bukan satu dua hari saja, melainkan sudah cukup lama. Cuma memang dalam minggu ini kenaikannya lebih agresif dibandingkan sebelumnya yang kenaikannya bisa 300 sampai 500 perak," tutur Abdullah saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/7/2018).

Abdullah pun mengakui, kenaikan harga telur ayam tersebut tak hanya merisaukan konsumen, melainkan juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pedagang.

Pasalnya, selain semakin sulit menjualnya para pedagang juga mengalami kesulitan dalam memperoleh telur ayam tersebut. Kesulitan itu semakin diperparah dengan tak mampunya para pedagang menambah modal jualannya.

"Semakin mahal harga semakin sedikit jumlah produksi yang kami dapat. Modal kami katakanlah sehari sejuta ya, ya sehari terus sejuta. Kami enggak bisa tambah modal lagi. Produksinya kan semakin berkurang," ujar Abdullah.

Lebih lanjut dia mengatakan, para pedagang membeli telur ayam dari produsen dengan harga mencapai Rp 26.000 per kilogram. Oleh sebab itu, mereka menjualnya kembali ke konsumen pada kisaran Rp 28.000 hingga Rp 29.000 per kilogram.

"Selepas Lebaran sampai sekarang ritmenya naik terus, enggak ada penurunan. Otomatis ya kami naikkan harga karena kami terima itu harganya sudah tinggi, enggak mungkin dong kami jual rugi," imbuh Abdullah.

Minimnya produksi ayam petelur

Abdullah pun kemudian mengidentifikasi penyebab kenaikan harga telur ayam tersebut. Menurut dia, minimnya produksi komoditas ayam petelur menjadi biang keladi mahalnya harga telur di pasaran.

"Yang pertama kalau bicara soal telur itu enggak bisa lepas dari ayam dan ayam ini sebenarnya bermasalah. Ujung pangkal persoalannya ada di ayam sebenarnya," terangnya.

Persoalan pertama, kata Abdullah, ada pada pembatasan pembibitan dan kedua adalah pembatasan obat yang berujung pada produksi ayam melambat.

Jika biasanya dalam waktu tiga bulan ayam sudah besar dan bisa bertelur, dengan pembatasan obat tersebut harus menunggu hingga empat bulan.

"Ketiga adalah soal pakan. Pakan ini ada yang mengikuti dollar Amerika Serikat. Pelemahan rupiah sekarang ini membuat distribusi pakan jadi terganggu," tutur Abdullah.

Penjualan para pedagang pun diklaim turun selama seminggu terakhir.

"Selama seminggu ini penjualan telur ayam turun 30 persen di pasar-pasar. Konsumen beralih ke komoditas lainnya, seperti ikan, tempe, dan tahu. Ketiganya naik 30 persen penjualannya," sebut Abdullah.

Intervensi pemerintah

Melihat hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita telah memanggil para peternak ayam petelur dan penjual pakan.

Enggar pun memastikan bahwa pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah untuk menstabilkan harga telur di pasaran.

"Ada beberapa langkah ke depan yang kami mintakan dan juga dapat respons positif dari para pelaku, yaitu jangan mengambil tambahan keuntungan," ujar Enggar di kantornya, Senin (16/7/2018).

Enggar menambahkan, pihaknya juga akan melakukan intervensi pasar jika harga telur dan daging ayam tak berangsur turun.

Langkah tersebut akan ditempuh jika selama sepekan ini harga komoditas itu tak juga menurun.

"Kami menyiapkan langkah untuk melakukan intervensi pasar. Langkah itu dilakukan dengan kita meminta para integrator yang besar itu untuk mengeluarkan stoknya dan kami akan melakukan penjualan langsung di pasar," sebut Enggar.

Terlepas dari itu, Enggar juga membeberkan penyebab mahalnya harga telur di pasaran. Berbeda dengan pendapat IKAPPI, Enggar menyatakan bahwa salah satu penyebab kenaikan harga telur dan ayam adalah masa libur panjang Lebaran 2018.

"Dari sisi suplai ke pasar sampai ke konsumen terjadi pengurangan yang juga diakibatkan karena masa libur panjang. Ternyata para pekerja di peternakan mau cuti panjang," ujarnya.

Selain itu, kata Enggar, faktor cuaca ekstrem juga menyebabkan kenaikan harga telur dan daging ayam. Sebab, akibat cuaca ekstrem tingkat produktivitas para peternak ayam menurun.

"Kami sepakat mengurangi kadar obat-obatan supaya lebih sehat, tapi lebih berisiko, risikonya tingkat kematian dan produktivitas. Ada cuaca ekstrem bisa kita saksikan di Dieng ada salju," kata Enggar.

Enggar mengungkapkan, kenaikan telur dan daging ayam tersebut terjadi sejak H-7 Lebaran 2018. Namun, pada tahun sebelumnya, sesudah Lebaran haga akan kembali normal.

"Biasanya sesudah itu harga akan turun. Tapi terjadi anomali kenaikan harga. Nah faktor ini lah yang terakumulasi sehingga pasokan dan pendistribusian ini secara relatif terganggu. Dari gangguan ini ada potensi menikmati margin keuntungan dari pedagang," ucap dia.

Enggar pun mengakui kenaikan harga komoditas tersebut juga dipengaruhi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

"Mengenai dollar itu berdampak ke pakannya dan juga proyeksi atas DOC-nya. Itu ada kenaikan, tapi tidak besar," pungkasnya.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/17/065616426/harga-telur-ayam-meroket-ada-apa-sebenarnya

Terkini Lainnya

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke