Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melihat Skema Pendanaan Energi Terbarukan Indonesia Pasca-Piagam Paris

Ini karena Indonesia masuk dalam lima besar penghasil emisi dunia di bawah China, Amerika Serikat, India, dan Rusia. Penurunan emisi tersebut, dilakukan dengan mengambil langkah di bidang energi berupa pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif.

Selain itu, Indonesia juga punya target peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional hingga 2025.

Niat Indonesia untuk mengurangi emisi tercermin dalam Intended Nationally Determined Controbution (INDC) merujuk Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dalam Confrence of Parties (COP) 21 di Paris pada 2015.

Piagam Paris diakui banyak pihak sebagai kesepakatan fenomenal, di mana negara-negara dunia bersepakat dan terikat secara hukum guna memerangi dampak perubahan iklim.

Bagaimana Realisasinya?

Meski perlahan, Indonesia sesunguhnya sudah menjalankan kesepakatan internasional tersebut. Target 23 persen Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga 2025 saat ini sudah menyentuh 12 persen, masih menyisakan delapan tahun.

Studi dari Kementerian ESDM menyebutkan untuk mencapai target 23 persen Indonesia mumbutuhkan dana sebanyak Rp 1,600 triliun menurut laporan Tim Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (P2EBT), 2016.

Presiden Joko Widodo mengakui pembangunan proyek pembangkit listrik EBT lebih mahal dibanding pembangkit listrik tenaga fosil namun semakin lama akan murah.

"Biaya produksi pembangkit listrik berbahan bakar energi baru dan terbarukan bisa lebih murah ketimbang pembangkit listrik tenaga fosil karena ini tidak ada suplai, misalnya PLTU, setiap hari kita bakar batu bara, ini tidak," ujar Jokowi di sela-sela peresmian PLTB Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018).

Presiden mendorong pembangkit EBT di seluruh tanah air terus dipacu agar target 23 persen hingga 2025 dapat dicapai.

Almo Pradana, Manajer Energi dan Iklim, World Resources Institute Indonesia (WRI), dalam wawancaranya dengan Kompas.com, Selasa (21/8/2018) menyebut awal 2015, pemerintah sudah mencabut subsidi BBM jenis premium. Kini, subsidi yang tersisa adalah subsidi BBM jenis solar, elpiji, serta listrik.

"Kebijakan subsidi BBM jenis solar saat ini tetap dalam segi jumlah, walaupun harga solar dunia naik, jumlah subsidi yang diberikan untuk solar tidak akan ikut naik. Pencabutan subsidi BBM ini dilakukan bukan semata-mata untuk beralih ke energi terbarukan, melainkan untuk menghemat beban pengeluaran negara sehingga dana bisa dialokasikan ke sektor yang lebih produktif," ujar Almo Pradana Selasa (21/8/2018).

Ia menegaskan, walaupun ada pencabutan subsidi bahan bakar fosil, namun hingga kini belum ada subsidi khusus dari pemerintah untuk energi terbarukan.

Ia menjelaskan, pendanaan untuk EBT disalurkan melalui dana alokasi untuk Kementerian Energti Sumber Daya Menieral (ESDM) dan dana untuk pengembangan energi terbarukan yang ada di PLN.

Skema pendanaan berikutnya dengan cara investasi melalui KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha) dengan Independent Power Producer. Berikutnya, investasi melalui skema APBD (Dana Alokasi Khusus atau DAK) dan Investasi oleh Kementerian Lain.

Secara teknis ia menyebutkan, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan pembangkit/infrastruktur EBT pada Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM (Ditjen EBTKE Kementerian ESDM).

Adapun jumlah Mata Anggaran Kegiatan (MAK) Belanja Barang dan Belanja Modal dengan total anggaran dan realisasi pada tahun 2015 sampai dengan 2016 terdiri dari belanja barang dengan anggaran sebesar Rp 3,22 triliun dan realisasi Rp 2,053 triliun. Selanjutnya belanja modal dengan anggaran sebesar Rp 37,258 miliar dan realisasi sebesar Rp 25,463 miliar. (LHP BPK 2017).

Skema pendanaan lainnya didapat dari hibah luar negeri seperti MCA-Indonesia, Green Climate Fund, ESP3, USAID-ICED, dan lainnya. Dana non-APBN tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber. Green Climate Fund (GCF) di bawah naungan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) misalnya, menetapkan dana perubahan iklim sebesar 10,3 miliar USD.

Indonesia dapat mengaksesnya melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur, BUMN yang berhasil memperoleh akreditasi GCF. Dana hibah juga termasuk salah satu sumber pendanaan non-APBN.

Obligasi Hijau

Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menjual obligasi "hijau" secara internasional dalam kesepakatan 1,25 miliar dollar AS sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang memanfaatkan minat investor dalam investasi ramah iklim. Tidak banyak negara dunia melakukan langkah tersebut di mana dana digunakan untuk pembangunan ramah lingkungan.

Sementara itu Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengkritik target mengikis emisi 29 persen hingga 2030 dan EBT mencapai 23 persen pada 2025 sulit tercapai karena belum ada skema dan belum ada rencana pendanaan.

"Subsidi BBM dan LPG serta listrik dalam 2 tahun ini terus naik. Sementara itu tidak ada dukungan pendanaan untuk energi terbarukan.Sementara itu penggunaan batubara oleh PLN justru diberikan insentif lewat kebijakan DMO batubara dimana harga batubara dalam negeri dipatok lebih rendah daripada harga internasional. Walaupun ini dilakukan dalam rangka menjaga agar biaya produksi listrik terkendali tapi kebijakan ini juga membuat PLN enggan mengembangkan energi bersih," sebutnya.

Pemerintah Indonesia optimistis target 23 persen EBT dapat dicapai pada 2025 mengingat melimpahnya potensi energi baru terbarukan yang bisa dikembangkan. Di antaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang memiliki potensi hingga 29 Gigawatt (GW).

Optimisme itu agak terganjal jika dilihat realisasi capaian EBT saat ini di mana secara nasional EBT Indonesia baru mencapai angka 11,9 persen hingga 12 persen persen dilihat dari APBN-P 2017. Sementara target waktu hanya menyisakan 8 tahun.

Hanya PLN di Pulau Sumatera yang mengklaim EBT yang digunakan mencapai 21 persen hingga Agustus 2018. Direktur Bisnis PT PLN Regional Sumatera, Wiluyo Kusdwiharto, menyebutkan, sudah 21 persen pembangkit listrik di Pulau Sumatera berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Selanjutnya, pada 2025 target 23 persen EBT di Sumatera akan terpenuhi.

"Pulau Sumatera sangat memenuhi syarat membangun energi baru terbarukan, yang berasal dari panas bumi, surya, dan lainnya," tutup Wiluyo.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/23/111000326/melihat-skema-pendanaan-energi-terbarukan-indonesia-pasca-piagam-paris

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke