Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Roller Coaster" Mata Uang Negara-negara Berkembang

JAKARTA, KOMPAS.com — Nilai tukar mata uang negara-negara berkembang alias emerging markets kembali berjatuhan pada beberapa waktu terakhir. Rupiah terperosok hingga hampir menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS pada penutupan perdagangan, Selasa (4/9/2018).

Ambrolnya nilai tukar mata uang negara-negara berkembang ini seolah membawa kembali ingatan ke tahun 2013 silam. Kala itu, kondisi serupa terjadi, hingga muncul sebutan Fragile Five alias negara-negara berkembang yang paling menderita nilai tukar mata uangnya terhadap dollar AS, yakni Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki.

Namun, kali ini pelemahan nilai tukar mata uang juga menyebar ke negara-negara berkembang lainnya, ambil contoh Turki, Argentina, Rusia, Meksiko, hingga Iran.

Lalu, apa yang melatarbelakangi pelemahan nilai tukar mata uang tersebut? Sederhananya, ada dua hal.

Pertama, kondisi eksternal. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa, mengatakan, kondisi ekonomi global masih bergejolak. Ini merupakan akibat kebijakan ekonomi AS yang berdampak hingga ke seluruh dunia.

"Kebijakan normalisasi moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Fed (bank sentral AS Federal Reserve) serta perang dagang dengan China telah berimbas pada banyak negara, termasuk emerging countries (negara-negara berkembang)," ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut juga menjelaskan, beberapa negara yang telah terimbas kebijakan The Fed dan perang dagang antara lain Venezuela, Argentina, dan Turki. Dampak terhadap negara-negara tersebut cukup signifikan, dibumbui tak ada fondasi ekonomi yang kuat dan kebijakan ekonomi yang tak sejalan fundamental.

Di sisi lain, ada pula faktor dari dalam negeri, yakni defisit neraca yang dialami Indonesia dan sejumlah negara berkembang lainnya. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara mengemukakan, perdagangan di dalam negeri yang kurang optimal juga membuat rupiah melemah.

Defisit neraca perdagangan ikut menyebabkan terjadinya defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD). Pada kuartal II 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

"Dari dalam negeri, neraca perdagangan terus mengalami defisit. Ini berimbas juga pada defisit transaksi berjalan yang menembus 3 persen pada kuartal II 2018," ujar Bhima.

Pelemahan nilai tukar diprediksi terus berlanjut hingga tahun 2019 mendatang. Ini sejalan dengan bakal terus menguatnya dollar AS dan gejolak ekonomi dunia yang masih terus membayangi.

Budi Hikmat, Director for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management, mengungkapkan kompleksitas yang membayangi rupiah. Menurut dia, pemulihan rupiah bergantung pada dua sisi, yakni internal dan eksternal.

Pemerintah dipandangnya harus cermat dan cepat dalam menelurkan solusi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akan tetapi, kondisi ekonomi global juga memengaruhi prospek rupiah ke depan.

"Pemulihan rupiah tidak hanya tergantung pada kecakapan dan kecepatan pemerintah menempuh jalan keluar untuk jangka pendek dan panjang, tetapi juga pada perbaikan kondisi eksternal," sebut Budi dalam laporannya.

Michael Every, analis dari Rabobank menjelaskan, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang sejauh ini akan mengalami pelemahan. Yang dicermati adalah seberapa besar pelemahan yang terjadi.

"Nilai tukar mata uang negara-negara berkembang akan menderita meski hampir telah melakukan apa pun, masalahnya adalah seberapa besar (pelemahannya)," tutur Every, seperti dikutip dari Reuters.

Every menyebut, sepanjang bank sentral AS Federal Reserve terus menaikkan suku bunga, pajak korporasi pun relatif rendah, hingga ancaman perang dagang terus di depan mata, maka dollar AS akan terus menguat terhadap mata uang negara-negara berkembang.

"Nilai tukar mata uang negara-negara berkembang akan menderita meski hampir telah melakukan apapun, masalahnya adalah seberapa besar (pelemahannya)," kata Michael Every dari Rabobank. Every menyebut, sepanjang bank sentral AS Federal Reserve terus menaikkan suku bunga, pajak korporasi pun relatif rendah, hingga ancaman perang dagang terus di depan mata, maka dollar AS akan terus menguat terhadap mata uang negara-negara berkembang

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mata Uang Negara-negara Berkembang Berguguran", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/04/155842826/mata-uang-negara-negara-berkembang-berguguran.

Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

salah satu pemicu pelemahan rupiah selain faktor eksternal adalah kurang optimalnya perdagangan di dalam negeri. Neraca perdagangan yang terus defisit turut berkontribusi terhadap transaksi berjalan yang menembus 3 persen pada kuartal II 2018. Menurutnya, dengan kondisi semacam ini mungkin saja rupiah bisa menembus batas psikologis Rp 15.000. "Dari dalam negeri , neraca perdagangan terus mengalami defisit. Ini berimbas juga pada defisit transaksi berjalan yang menembus 3 persen pada kuartal II 2018. Artinya pelemahan rupiah diproyeksi akan berlanjut hingga tahun depan dan menembus batas psikologis Rp 15.000," jelas dia ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (4/9/2018).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kinerja Perdagangan Kurang Optimal Sebabkan Rupiah Anjlok", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/04/121231026/kinerja-perdagangan-kurang-optimal-sebabkan-rupiah-anjlok.
Penulis : Mutia Fauzia
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

perekonomian global yang masih penuh gejolak, sebagai akibat kebijakan ekonomi di Amerika Serikat yang menimbulkan dampak ke seluruh dunia. Kebijakan normalisasi moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Fed serta perang dagang dengan negara Tiongkok telah berimbas pada banyak negara, termasuk emerging countries. Bagi yang tadi menanyakan soal ini, faktanya memang begitu," kata Sri Mulyani di hadapan peserta rapat. Sri Mulyani menjelaskan, beberapa negara yang sudah terimbas kebijakan The Fed dan perang dagang di antaranya Venezuela, Argentina, serta Turki. Dampak terhadap negara-negara tersebut cukup signifikan, ditambah tidak adanya pondasi ekonomi yang kuat serta kebijakan ekonomi yang tidak sejalan dengan fundamentalnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diprotes Anggota DPR, Ini Tanggapan Sri Mulyani", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/04/133400326/diprotes-anggota-dpr-ini-tanggapan-sri-mulyani.
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Erlangga Djumena

perekonomian global yang masih penuh gejolak, sebagai akibat kebijakan ekonomi di Amerika Serikat yang menimbulkan dampak ke seluruh dunia. Kebijakan normalisasi moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Fed serta perang dagang dengan negara Tiongkok telah berimbas pada banyak negara, termasuk emerging countries. Bagi yang tadi menanyakan soal ini, faktanya memang begitu," kata Sri Mulyani di hadapan peserta rapat. Sri Mulyani menjelaskan, beberapa negara yang sudah terimbas kebijakan The Fed dan perang dagang di antaranya Venezuela, Argentina, serta Turki. Dampak terhadap negara-negara tersebut cukup signifikan, ditambah tidak adanya pondasi ekonomi yang kuat serta kebijakan ekonomi yang tidak sejalan dengan fundamentalnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diprotes Anggota DPR, Ini Tanggapan Sri Mulyani", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/04/133400326/diprotes-anggota-dpr-ini-tanggapan-sri-mulyani.
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Erlangga Djumena

Pada saat ini, kita dihadapkan pada kondisi perekonomian global yang masih penuh gejolak, sebagai akibat kebijakan ekonomi di Amerika Serikat yang menimbulkan dampak ke seluruh dunia. Kebijakan normalisasi moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Fed serta perang dagang dengan negara Tiongkok telah berimbas pada banyak negara, termasuk emerging countries. Bagi yang tadi menanyakan soal ini, faktanya memang begitu," kata Sri Mulyani di hadapan peserta rapat. Sri Mulyani menjelaskan, beberapa negara yang sudah terimbas kebijakan The Fed dan perang dagang di antaranya Venezuela, Argentina, serta Turki. Dampak terhadap negara-negara tersebut cukup signifikan, ditambah tidak adanya pondasi ekonomi yang kuat serta kebijakan ekonomi yang tidak sejalan dengan fundamentalnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diprotes Anggota DPR, Ini Tanggapan Sri Mulyani", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/04/133400326/diprotes-anggota-dpr-ini-tanggapan-sri-mulyani.
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Erlangga Djumena

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/05/060700426/roller-coaster-mata-uang-negara-negara-berkembang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke