Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

PBB Identifikasi Negara-negara yang Panennya Turun pada Tahun 2050

Laporan berjudul Negara Pasar Komoditas Pertanian 2018 atau The State of Agricultural Commodity Markets 2018, berusaha untuk mempelajari hubungan antara perdagangan pertanian, perubahan iklim dan ketahanan pangan.  FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) merilis laporan di Roma, Italia.

Seperti dikutip dari CNBC, bagian dalam laporan itu berfokus pada dampak jangka panjang dari perubahan iklim pada produksi pertanian dan perdagangan, PBB menyimpulkan bahwa petani di berbagai belahan dunia dapat mengharapkan hasil naik maupun turun selama tiga dekade berikutnya.

Menggunakan tahun 2050 sebagai titik akhir, laporan itu menyatakan bahwa penurunan diperkirakan paling jelas di Afrika Barat dan India di mana hasil pertanian bisa turun sebanyak 2,9 dan 2,6 persen.

Sebaliknya, para peneliti PBB memerkirakan bahwa suhu lebih tinggi di daerah lintang akan meningkatkan panen. Peningkatan ini akan terjadi di Kanada (2,5 persen) dan Rusia (0,9 persen) dan menyebutkan bahwa bagian dari Finlandia pun cukup hangat untuk menghasilkan.

"Sementara sebagian besar wilayah tropis kemungkinan akan mengalami kerugian produksi karena meningkatnya suhu, produksi di daerah beriklim sedang diperkirakan akan mendapat manfaat dari iklim yang lebih hangat dan musim tanam yang lebih panjang," kata laporan itu.

Asia Selatan dan sub-Sahara Afrika diidentifikasi sebagai berisiko tertinggi secara ekonomi karena sebagian besar pekerjaan saat ini dan pendapatan nasional di daerah-daerah tersebut berasal dari pertanian skala kecil.

Semakin pentingnya negara berkembang dalam perkembangan besar di pasar pertanian global sejak tahun 2000. Laporan PBB mengatakan selama periode itu China telah menjadi eksportir keempat terpenting, meningkatkan pangsa nilai ekspor totalnya dari 3 persen pada tahun 2000 menjadi 4,2 persen tahun 2016.

Sementara Amerika Serikat memiliki 11 persen pangsa ekspor pertanian global pada tahun 2016 dan Uni Eropa menyumbang 41,1 persen.

Perubahan dalam impor oleh ekonomi pasar yang muncul selama periode 16 tahun yang sama telah diidentifikasi bahkan lebih nyata, karena pertumbuhan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan mendorong konsumsi makanan.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa efek perubahan iklim yang tidak merata berisiko membalikkan dekade kemajuan dalam mengurangi kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang dan dapat menyebabkan penurunan signifikan dalam produk domestik bruto (PDB) dari daerah-daerah yang terkena dampak paling parah.

Rata-rata, harga pangan global diprediksi tetap relatif stabil, tetapi area di mana panen yang jatuh dapat mengalami kenaikan harga pangan paling tinggi.

Perdagangan

Untuk mengatasi risiko terhadap keamanan pangan, PBB menginginkan perdagangan pertanian untuk mengadopsi kebijakan yang akan memastikan kelancaran pergerakan produksi dari surplus ke wilayah defisit.

Namun, risiko untuk hal itu adalah sempitnya rute transportasi global yang mengirimkan transfer dari satu benua ke benua lain.

PBB yang mengutip laporan Chatham House 2017, telah menyarankan bahwa sebagian besar perdagangan makanan internasional bergantung pada rute yang memiliki sejumlah titik hambatan, dengan 14 dari mereka diidentifikasi "penting" untuk keamanan pangan.

Daerah yang paling penting yang terdapat titik hambatan di jalur air adalah Terusan Panama, Selat Malaka, dan Selat Turki yang memungkinkan perjalanan sekitar 20 persen dari ekspor gandum global.

Sementara, titik hambatan di darat dan pesisir adalah Amerika Serikat, Brasil, dan Laut Hitam yang sama-sama menyumbang lebih dari setengah dari transfer beras dunia, jagung dan kedelai.


https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/18/103700826/pbb-identifikasi-negara-negara-yang-panennya-turun-pada-tahun-2050

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke