Sebab, misalnya untuk kebijakan mengurangi impor tidak bisa secara langsung diterapkan karena pemerintah masih membutuhkan impor untuk belanja modal (capital expenditure). Walau memang, impor jumlah impor untuk konsumsi cenderung berkurang.
"Karena untuk kebijakan investasi, infrastruktur, itu juga masih terus berlangsung. Tapi untuk impor non strategis itu sudah relatif lebih rendah," ujar Dody ketika ditemui awak media selepas cara Indonesia Risk Management Outlook di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Namun, Dody tetap optimis, di kuartal IV nanti dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan B20, pemberlakukan PPh pasal 22 untuk ribuan produk impor non produktif akan mulai memberikan hasil di kuartal IV-2018 mendatang.
"Angka pertumbuhan impor riil sendiri di kuartal III-2018 lebih rendah dibandingan kuartal II-2018," ujar Dody.
"Sebenarnya kebijakan itu kan sebenarnya baru di September, sehingga hasilnya belum begitu terasa di kuartal III-2018, jadi mungkin lebih banyak kita lihat di kuartal IV-2018," lanjut dia.
Adapun mengenai posisi rupiah, BI terus berusaha untuk menjaga rupiah tetap berada di fundamentalnya. Dody mengatakan, BI saat ini terus melakukan bauran kebijakan dari segi suku bunga, intervensi di pasar keuangan, dan menjaga stabilitas dari pasar keuangan itu sendiri yang didpresiasi secara gradual.
Adapun saat ini, di pasar spot Bloomberg, rupiah telah menguat 1,15 persen atau 172,5 poin menjadi Rp 14.804 per dollar AS dari Rp 14.947,5 per dollar AS pada pembukaan perdagangan. Sementara pada penutupan Senin (5/11/2018) lalu, rupiah diperdagangkan di level Rp 14.976 per dollar AS.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/06/185552126/upaya-pemerintah-tekan-cad-belum-menunjukkan-hasil-maksimal