Dengan mengadopsi konsep Sharoushi, Perisai diandalkan BPJS Ketenagakerjaan untuk meraup kepesertaan pekerja terutama dari sektor informal alias bukan penerima upah (BPU).
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, menyebut, untuk mempercepat penambahan kepersertaan para pekerja Indonesia ke dalam jaminan sosial, pihaknya menghadapi berbagai tantangan.
"Tantangan kami adalah bagaimana mempercepat penambahan kepersertaan. karena kondisi demografi dan geografi kita, terutama untuk sektor informal bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil," ucap dia saat memberikan pemaparan mengenai Perisai di World Sharoushi Symposyium di Tokyo, pekan lalu.
Jumlah total tenaga kerja di Indonesia mencapai 127,07 juta orang, dengan 53,09 juta (42 persen) merupakan pekerja formal dan 73,98 juta (58 persen) pekerja informal.
Menurut Agus, saat ini kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai 48,9 juta pekerja atau 52 persen dari tenaga kerja yang harus di-cover lembaga ini. Adapun jumlah peserta yang aktif adalah 28,9 juta.
BPJS Ketenagakerjaan sendiri bertanggung jawab untuk mendorong semuat pekerja termasuk pekerja informal agar ikut dalam jaminan sosial. Untuk merengkuh semua pekerja itu Agus menyebut, pihaknya tidak bisa mengandalkan kepada karyawan organik BPJS Ketenagakerjaan saja yang jumlahnya hanya sekitar 5.575 orang.
Berdasar dari itu, pihaknya pun melakukan pengkajian terhadap berbagai konsep di negara-negara lain, termasuk Jepang.
"Kami lihat di Jepang dengan konsep Sharoushi. Ini kami ambil dan diimplementasikan di Indonesia. Tetapi tidak 100 persen diimplentasikan, Kami sesuaikan dengan budaya dan regulasi kita, serta kebutuhan BPJS ketenagakerjaan, yakni percepatan penambahan kepesertaan," papar dia.
Maka diluncurkanlah Perisai untuk mempercepat penambahan kepesertaan pekerja Indonesia terutama sektor informal.
"Perisai ini kami jalankan pararel dengan yang dikerjakan oleh karyawan kita, sehingga tidak overlapping. Karyawan menggarap menengah besar, pekerja upah (PU). Yang ditangani Perisai, sektor mikro kecil bukan penerima upah, karena mereka itu yang sulit dicapai dan mereka tersebar di remote area," sebut Agus.
Konsep Sharoushi sendiri menempatkan dirinya sebagai konsultan bagi pekerja dan perusahaan. Sedangkan Perisai masih sebatas sebagai merekrut, selain memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai jaminan sosial.
Namun bukan berarti Perisai berhenti di level merekrut, Agus menyebut, pihaknya memiliki road map untuk terus meningkatkan kompetensi para agen Perisai.
"Orang-orang ini kita didik, kita latih secara regular basis, kita sertifikasi. Sekarang basic level kemudian menjadi medium level, paling enggak dia ngerti social security, dia mengerti tentang regulasi ketenagakerjaan. Kemudian kita latih lagi hingga high level, di situ dia bisa berperan sebagai konsultan jaminan sosial," papar Agus.
Komunitas dan teknologi digital
Agus menjelaskan, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat komunal, sehingga pihaknya pun memberdayakan kalangan komunitas untuk agen perisai.
"Banyak komunitas, mereka bisa lebih percaya, menerima orang di sekelilingnya dari pada di luar. Nah orang komunitas itu kami rekrut," sebutnya.
Hal itu terbukti dengan penambahan kepesertaan yang dinilai Agus luar biasa. Hingga kini tercatat 4.000 agen Perisai, dengan 3.500 orang yang aktif. Mereka berhasil menambah kepesertaan 400.000 pekerja dalam kurun waktu 10 bulan ini. Adapun iuran yang diperoleh mencapai Rp 32 miliar.
Mantan bankir ini menyebut, selain memberdayakan komunitas, pihaknya juga menggunakan teknologi digital untuk menunjang kinerja Perisai supaya lebih efektif dan efisien.
"Kami berpikir bahwa key succes factor untuk sistem keagenan ini adalah satu, memberdayakan komunitas dan kedua didukung oleh teknologi digital. Sekarang pendaftarannya itu semua paperless, tidak ada dokumen apapun, peserta kita menerima bukti ini secara digital juga," papar dia.
Agus menjelaskan, agen Perisai mendapatkan insentif berupa komisi akuisisi sebesar Rp 500.000 sebulan dengan syarat bisa mendapatkan 50 peserta baru. Selain itu agen juga mendapat komisi 7,5 persen dari iuran yang terkumpul.
"Sekarang ini sudah ada yang pendapatannya Rp 20 jutaan sebulan," ucapnya.
Dia menyebut penerapan Perisai ini memberikan beberapa keuntungan, mulai dari sisi jumlah kepesertaan yang bertambah lebih cepat, kemudian membuka lapangan kerja baru dengan gaji cukup besar. "Kita juga membantu program pemerintah dengan peningkatan kompetensi SDM," sebut Agus.
"Kami kerja sama denga JICA (Japan International Cooperation Agency), sepenuhnya mereka ke sini dibiayai JICA. Mereka yang terbanyak mengakusisi dan bisa menjaga keberlangsungan pembayarannya," ucap Agus.
Yuliani, salah seorang agen Perisai yang hadir di Tokyo, mengaku dalam sebulan sudah mendapatkan penghasilan sekitar Rp 21 jutaan. Ibu rumah tangga dari Tangerang ini sudah berhasil mengakuisisi 5.300 peserta yang aktif.
"Insya Allah bulan ini, ikatan motor akan masuk sekitar 1.600 peserta kalau closing," ucapnya.
"Namun memang menggarap orang itu tidak mudah. Tetapi kita tidak patah semangat, butuh kesabaran," tambah wanita beranak 3 ini.
Sementara agen Perisai dari Bali, Azis menyebutkan dirinya sudah merekrut 3.000 pekerja non formal. Dia mengaku mendapatkan insentif sebesar Rp 10 juta per bulan. Meski demikian dia mengaku tidak terlalu memikirkan insentif yang didapatnya.
"Kami tergerak untuk membantu para pekerja yang belum terdaftar, saya tidak melihat insentif yang didapat," ucap pria yang sebelumnya menjadi agregator di BPR itu.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/10/164754126/perisai-sharoushi-ala-indonesia-untuk-melindungi-pekerja