Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Infrastuktur dan Utang

Misalnya saja jalan sepanjang 3.432 kilometer, jalur kereta api, termasuk jalur ganda dan reaktivasi sepanjang 754.59 km, 10 bandar udara baru, 19 pelabuhan baru, hingga 43 bendungan masuk dalam katalis pembangunan infrastuktur 4 tahun terakhir.

Namun belakangan, program pembangunan infrastuktur tersebut mendapatkan kritik. Penarikan utang besar-besaran selama pemerintahan Jokowi ditengarai untuk membiayai pembangunan infrastuktur yang masif.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, utang pemerintah per September 2018 sebesar Rp 4.516 triliun, naik Rp 1.815 triliun dari posisi utang per September 2014.

Sementara itu dari Januari hingga Oktober 2018, utang pemerintah sudah mencapai Rp 333,7 triliun, lebih rendah 19,5 persen dibandingkan realisasi Januari-Oktober 2017 yang sebesar Rp 414,7 triliun.

Dalam akun twitter pribadinya, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menulis pentingnya pembangunan infrastruktur tanpa utang. Beberapa kali, Prabowo juga kerap mengkritik kebijakan pemerintah yang banyak menarik utang.

"Negara yang bisa memiliki pembangunan infrastruktur demi menunjang ekonomi di desa-desa tanpa bergantung oleh utang luar negeri. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hasil produksi kita akan meningkat," tulis dia.

Saat berkunjung ke Pesangrahan, Jakarta, cawapres Prabowo, Sandiaga Uni menyatakan berencana melanjutkan pembangunan infrastruktur tanpa membebani utang dengan menggaet pihak swasta bisa ia dan Prabowo terpilih nanti.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku menghargai pernyataan Prabowo-Sandiaga. Menurut dia, itu tanda Prabowo juga ingin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan yang sehat dimana utang semakin kecil.

Meski begitu kata dia, Presiden Jokowi juga memiliki komitmen yang sama. Bahkan ucapnya, porsi penarikan utang pada 2018 sudah dikurangi dari tahun-tahun sebelumnya.

Soal pembangunan, tak melulu soal utang. Lemerintah kata Sri Mulyani memiliki berbagai mekanisme. Mulai dari pendanaan dari APBN, APBD, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), hingga yang teranyar yakni Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, pembangunan dengan 4 mekanisme tersebut merupakan equity financing. Artinya anggarannya tidak menggunakan utang (debt financing).

Pemerintah juga membuka mekanisme untuk melakukan sekuritisasi proyek infrastuktur. Dengan mekanisme ini maka BUMN bahkan Pemda yang memiliki infrastruktur bisa di sekuritisasi melalui pasar modal.

Manfaatnya, BUMN mendapatkan dana segar hasil sekuritisasi yang bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastuktur lainnya tanpa harus berutang.

"Mekanisme seperti itu sekarang kan terus kami sempurnakan. Jadi siapapun nanti (yang terpilih di Pilpres 2019), bisa menggunakan mekanisme itu. Itu bukan sesuatu yang sama sekali berbeda, tetapi telah dilakukan (saat ini)," kata Sri Mulyani.

Sementara itu soal pelibatan swasta yang lebih besar dalam proyek pembangunan dinilai sangat penting. Namun tak mudah.

Sri Mulyani mengatakan, swasta melihat betul proyek pembangunan infrastuktur. Bila proyek itu tak menguntungkan, maka swasta juga pikir-pikir untuk menggelontorkan investasi.

"Jadi dengan itu mereka bisa melakukan equity financing. Tetapi kalau daya tarik risikonya sangat sensitif, mereka biasanya enggak berani masuk ekuitas, tetapi loan (memberikan utang) dulu," kata dia.

Sementara itu Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution juga angkat bicara terkait kritik pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga Uno soal pembangunan infrastuktur yang tergantung utang.

"Ya kalau semuanya mau menghemat, mungkin bisa (tanpa utang)," kata Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin.

Namun mantan Gubernur Bank Indonesia itu menjelaskan bahwa tak selalu pembangunan infrastuktur itu dibiaya dari utang. Darmin memberikan contoh proyek-proyek strategis nasional di era Presiden Jokowi.

Ia menuturkan, sekitar 10-11 persen proyek stategis nasional dibiayai APBN, 36 persennya dibiayai oleh BUMN dan BUMN. Sementara itu porsi dari pihak swasta bahkan mencapai lebih dari 51 persen.

"Jadi ya, dan itu bukan utang. Dia (swasta) investasi, dia ambil risiko di situ. Kalau sukses dia untung, kalau kurang sukses ya untungnya sedikit. Kita tidak minjam, dia investasi di kita," kata Darmin.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/11/093900926/infrastuktur-dan-utang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke