Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sedang Tren, Industri Digital Belum Mampu Selamatkan Angkatan Kerja?

Meski pertumbuhan ekonomi negara cukup baik, suara-suara gaduh tetap bermunculan bila lapangan kerja tidak mampu menampung semua angkatan kerja.

Bedasar hasil analisa data iPrice, penyerapan angkatan kerja tahun ini masih dominan pada bidang pertanian sebesar 30,46 persen, perdagangan sebesar 18,53 persen, dan industri pengolahan sebesar 14,11 persen.

Sementara untuk industri digital masih minim.

Dalam laporan tersebutt, Dewan Pengawas Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyebut bahwa penyerapan tenaga kerja industri digital belum cukup membuat perubahan masif.

Salah satu alasannya, turunan dari industri ini masih menekankan pada migrasi aktivitas ke platform internet.

Jika sebelumnya pekerjaan seperti berdagang dilakukan konvensional secara tatap muka yang mengorbankan jarak, waktu dan tenaga, maka kini pekerjaan itu jadi lebih efektif berkat pemanfaatan internet.

Lalu menjamurlah perusahaan dagang dalam talian yang beken dengan istilah e-commerce.

Namun, satu sisi potensi pertumbuhan ekonomi digital cukup tinggi tahun 2025. Berdasarkan penelitian Google & Temasek menyebut bahwa ekonomi digital di Asia Tenggara pada tahun 2025 bisa mencapai 240 miliar dollar AS.

“Para pemain di marketplace tidak cukup sekadar mengandalkan akselerasi mitra pedagang. Dan meski era otomasi di dunia industri perlahan berkembang melalui wacana industri 4.0, tapi tetap saja ada kerja-kerja ahli berkesinambungan yang mesti diperhatikan para pemain industri digital. Artinya, potensi lapangan,” tulis Peneliti iPrice Group Aldo Fenalosa dalam laporan tersebut, Sabtu (15/12/2018).

Tren karir e-commerce di ASEAN

Dari hasil riset iPrice, penyerapan tenaga kerja dari sektor e-commerce di regional ini meningkat hingga 40,7 persen dalam dua tahun terakhir.

Koefisien ini nyatanya jauh lebih tinggi dari jumlah tenaga kerja perekonomian digital yang diproyeksikan dalam laporan Google & Temasek.

“Dalam temuan iPrice, penyerapan tenaga kerja paling besar datang dari pemain internasional seperti Lazada dan Shopee. Investasi Lazada pada 6.659 pegawai menjadikannya sebagai e-commerce paling gemuk di wilayah Asia Tenggara,” jelasnya.

Tren perekrutan pegawai yang masif ternyata turut memengaruhi percepatan suatu pemain untuk berkompetisi dengan kompetitornya.

Merujuk hasil riset iPrice, Shopee cukup gesit menarik talenta yang benar-benar berpengalaman untuk posisi strategis di sejumlah departemen.

Bahkan, penyerapan tenaga kerja di Shopee meningkat hingga 176,8 persen dibanding tahun 2016.

Berkat strategi ini, Shopee mampu memotong gap dan menjadi kompetitor terdekat Lazada di Asia Tenggara.

Sayangnya, ketersediaan talenta merupakan isu elementer yang kerap dihadapi pemain e-commerce lokal untuk bersaing di ranah regional.

Bukan cerita baru bila perusahaan Indonesia sulit menemukan talenta yang tepat untuk bidang pekerjaan di industri digital.

Tantangan ini pula yang membuat penyerapan tenaga kerja pada perekonomian digital belum cukup memberi perubahan masif.

Padahal, seharusnya dengan semakin banyak e-commerce yang tumbuh di Indonesia, maka semakin banyak pula lapangan pekerjaan digital tercipta.

“Penyerapan tenaga kerja di industri e-commerce tanah air hanya didominasi segelintir pemain lokal. Menilik riset karir e-commerce oleh iPrice, Tokopedia memiliki kuantitas karyawan paling banyak, yakni 2.003 orang; dan Bukalapak sebanyak 1.887 orang. Statistik pegawai perusahaan e-commerce lokal lain belum mampu menembus angka 1000,” paparnya.

Biaya dan efektivitas perekrutan juga jadi salah satu faktor yang menghambat. Dicuplik dari Kata Data, head hunter biasanya membebankan start up nasional dengan biaya Rp 210 juta hingga Rp 1,1 miliar untuk merekrut talenta chief level.

Kemudian, Rp 66-264 juta untuk level senior, Rp 25-79 juta untuk menengah dan Rp 13-29 juta untuk level junior.

Menurut Aldo, besarnya biaya perekrutan ini lantaran minimnya sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kualifikasi di industri digital.

Sedangkan kebutuhan SDM ahli untuk industri ini sedang tinggi-tingginya. Sebagai alternatif, perusahaan lalu menggunakan tenaga kerja asing untuk mengisi bidang kerja yang dibutuhkan.

“Situasi seperti ini idealnya dapat dibaca lebih awal oleh angkatan kerja Indonesia. Tren pemerintah yang masih mengutamakan sektor padat karya dapat menepikan potensi pemenuhan lapangan kerja di industri digital," ujarnya.

Angkatan kerja juga patut mengaktualiasasi wawasan dan kompetensi agar lebih bersinergi dengan kebutuhan di lapangan pekerjaan. Jika angkatan kerja memiliki wawasan dan kompetensi yang tepat, mereka bisa melakukan penetrasi lebih cekatan di industri digital,” tambah dia.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/15/143814426/sedang-tren-industri-digital-belum-mampu-selamatkan-angkatan-kerja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke