Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kaleidoskop 2018: Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang Banyak Menuai Kritik

Ada tiga poin yang diatur dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI ini. Pertama, memperluas Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday); kedua, merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI); dan ketiga, memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian insentif perpajakan.

Sejatinya, pemerintah memang berupaya untuk mendorong masuknya modal asing yang lebih besar dan berdampak pada perekonomian Indonesia. Namun apa daya, jurus 'ke-15' pemerintah itu pun menuai kritik dan ditentang banyak kalangan.

Menutup perjalanan 2018, Kompas.com merangkum fakta di balik lahirnya Paket Kebijakan Ekonomi XVI. Simak ulasananya di bawah ini.

1. Pemerintah Rilis Paket Kebijakan Ekonomi XVI

Pemerintah terus berupaya agar tidak terseret arus ketidakpastian ekonomi global dengan memanfaatkan momentum meningkatnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia.

Pemerintah pun berupaya untuk mendorong masuknya modal asing yang lebih besar dengan merilis tiga kebijakan dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang diluncurkan hari ini, Jumat (16/11/2018), di Istana Negara, Jakarta.

Pertama, pemerintah memperluas Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday) untuk mendorong investasi langsung pada industri perintis dari hulu hingga hilir guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menyempurnakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

“Dalam rangka lebih mendorong peningkatan nilai investasi di Indonesia, pemerintah memandang perlu untuk memperluas cakupan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dapat diberikan fasilitas tax holiday,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Kedua, pemerintah kembali merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) sebagai upaya untuk mendorong aktivitas ekonomi pada sektor-sektor unggulan. Kebijakan ini membuka kesempatan bagi penanaman modal dalam negeri (PMDN), termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi, untuk masuk ke seluruh bidang usaha.

Selain itu, pemerintah juga memperluas kemitraan bagi UMKM dan Koperasi untuk bekerja sama agar usahanya dapat naik ke tingkat yang lebih besar. Sementara bidang usaha yang selama ini sudah dibuka bagi penanaman modal asing (PMA) namun masih sepi peminat, pemerintah memberikan kesempatan PMA untuk memiliki porsi saham yang lebih besar.

“Kita ingin menjaga dan terus mendorong kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia,” sebut Darmin.

Ketiga, pemerintah memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian insentif perpajakan. Pengendalian berupa kewajiban untuk memasukkan DHE dari ekspor barang-barang hasil sumber daya alam (pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan).

2. Pemerintah Butuh Waktu Tarik Investor

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengakui upaya menarik para investor ke Indonesia bukanlah hal yang mudah. Meski berbagai insentif dikeluarkan melalui Paket Kebijakan Ekonomi XVI, investor asing belum tentu akan langsung masuk ke Indonesia dalam waktu dekat ini.

"Iya (kami optimis investasi asing masuk), tetapi perlu waktu menarik investasi, kamu pikir sebulan bisa?" ujar Darmin di Jakarta, Jumat (30/11/2018).

Pada Paket Kebijakan Ekonomi XVI, pemerintah mengobral insentif. Mulai dari memberi pengurangan pembayaran pajak penghasilan (PPh) Barang atau tax holiday hingga potongan pajak deposito.

Skema tax holiday yang baru misalnya, memungkinkan para investor tak perlu bayar PPh Badan hingga 20 tahun. Setelahnya, investor bahkan dapat lagi potongan PPh Badan 50 persen. Namun di sisi lain Indonesia juga harus bersaing dengan negara lain. Sebab negara lain juga menawarkan insentif yang sama, bahkan bisa lebih menggoda.

"Yang diukur dalam APBN itu bukan masuknya investasi, tetapi direalisasikan investasi. Itu beda itu yang dihitung dalam APBN investasi yang dilaksanakan bukan dalam tahap minta izin," kata Darmin.

"Jadi, itu ada waktunya (investasi asing masuk). Tetapi kami sudah siapkan fasilitas pajak, Online Single Submission, fasilitas Devisa Hasil Ekspor yang khusus devisa hasil SDA," sambung mantan Gubernur Bank Indonesia itu.

3. Relaksasi DNI Tidak "Urgent"

Dari tiga poin Paket Kebijakan Ekonomi XVI, relaksasi Daftar Negatif Investasi ( DNI) paling banyak ditanggapi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo) Hariyadi B. Sukamdani, mengatakan, pemerintah tak semestinya mengeluarkan kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi ( DNI). Apindo menganggap kebijakan itu tidak telalu mendesak.

"Tidak terlalu urgent, untuk direlaksasi karena pertama dari jenis sektor yang direlaksasi menurut pandangan kami tidak begitu menarik bagi investor luar," kata Hariyadi di kantornya, Kuningan, Jakarta, Kamis (22/11/2018).

Hal itu disampaikan Hariyadi menanggapi kebjakan Pemerintah yang mengeluarkan revisi kebijakan DNI melalui Paket Kebijakan Ekonomi XVI untuk mendorong penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Menurut Hariyadi, sektor yang masuk dalam DNI itu sudah banyak dikerjakan dan digarap pelaku usaha domestik. Seperti misalnya penyewaan mesin, survei, dan lainnya. Sehingga ada DNI ini akan mempengaruhi iklim investasi di dalam negeri.

"Kalau kita melihat secara keseluruhan tidak terlalu urgent (kebijakan tentang DNI)," tegasnya.
Apindo menyimpulkan kebijakan ini kurang tepat dikeluarkan saat ini. Apalagi, pada 2016 lalu sudah ada banyak DNI yang telah dikeluarkan.

Hariyadi menuturkan, sekarang yang perlu diperhatikan pemerintah ialah pembebahan adaministrasi. Seperti OSS yang masih banyak dikeluhkan dan sehingga harus menjadi prioritas. "Kemudian yang menyangkut komplain dari investor yang udah masuk. Komplain masalah kepastian hukum, Peraturan Daerah yang munculnya membuat investasi tidak kondusif, itu lebih penting ketimbang DNI," ucapnya.

4. Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan 

Tak lama setelah diluncurkan, Pemerintah diminta untuk mengevaluasi Paket Kebijakan Ekonomi XVI. Kamar Dagang dan Industri ( Kadin) Indonesia meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi terhadap paket kebijakan ekonomi XVI, terutama kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi ( DNI).

Pasalnya, pasca-dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi XVI, khususnya kebijakan relaksasi DNI muncul anggapan bahwa kebijakan tersebut bisa menggerus atau mereduksi terhadap usaha kecil menengah.

"Pada saat kebijakan ini keluar terjadi susatu persepsi bahwa ini bisa menggerus atau mereduksi usaha kecil menengah. Makanya kami meminta pemerintah untuk memberikan penjelasan alasan kebijakan ini dikeluarkan," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani saat jumpa pers Rapimnas Kadin 2018 di Alila Hotel Solo, Jawa Tengah, Senin (26/11/2018).

Evaluasi kebijakan relaksasi DNI tersebut bertujuan untuk mendapatkan masukan dari dunia usaha. Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah nantinya dapat membawa dampak positif secara masif dan terukur terhadap kepentingan dunia usaha.

Menurut Rosan selain kebijakan relaksasi DNI, kebijakan ekonomi XVI yang dikeluarkan pemerintah terdiri dari kebijakan tax holiday dan kewajiban membawa pulang Devisa Hasil Ekspor (DHE). Namun, kedua kebajikan itu dinilai tak bermasalah.

"Kami dari dunia usaha belum diajak bicara atau berdialog terkait kebijakan relaksasi DNI. Sehingga kami meminta kepada pemerintah melalui kementerian terkait (Kemenko Perekonomian) agar kebijakan ini untuk dievaluasi atau dikaji ulang kembali," kata Rosan.

Oleh sebab itu, lanjut Rosan Rapimnas 2018 diharapkam dapat menjadi sarana interaksi antara pemerintah dengan dunia usaha. Sehingga hasil Rapimnas dapat memberikan masukan terutama terhadap kebijakan relaksasi DNI yang dikeluarkan oleh pemerintah.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/25/102525626/kaleidoskop-2018-paket-kebijakan-ekonomi-xvi-yang-banyak-menuai-kritik

Terkini Lainnya

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke