Kehadiran stasi Jalan Salib di kaki patung Kristus Memberkati yang dibangun di kawasan Citraland Manado, Sulawesi Utara, bukan hanya diharapkan sebagai tempat wisata religi. Monumen yang terletak di atas bukit itu juga mencatat sejarah penderitaan rakyat Manado, khususnya pada masa penjajahan Jepang 1942-1945.
Itu memang sengaja dihadirkan oleh Ciputra sebagai pendiri obyek wisata religi, khususnya untuk umat Kristiani. Saat meresmikan Jalan Salib di kompleks itu, beberapa waktu lalu, Ciputra secara detail menjelaskan, di ujung jalan salib, tepatnya di bawah kaki Kristus Memberkati, dibuat relief dan patung-patung penderitaan warga Manado yang mengalami kekejaman Jepang.
Ada empat patung yang menggambarkan penderitaan itu. Satu di antaranya seorang ibu yang menggendong anak balita telanjang. Meski keseluruhan tubuh patung dicat putih, tetap kelihatan ekspresi ibu itu yang begitu sendu dan sedih serta menderita. Ia seolah memikirkan bagaimana nasib masa depan si anak balita kurus dan telanjang, yang menggambarkan kemiskinan orangtuanya.
Kehadiran patung ibu dan anak yang menderita ini semakin menemukan bukti kebenarannya, dengan pengakuan Ciputra sendiri bahwa ayahnya, Tji Sien Poe, seorang pedagang kecil meninggal di tahanan Jepang.
Patung di sebelahnya, wujud lelaki tampan gambaran orang sukses. Dua patung yang yang dibuat di Bogor sejak tahun 1947 itu seperti ada hubungannya. Dari ibu dengan bayinya yang lunglai terpuruk di tanah, berubah menjadi lelaki tampan yang sukses dalam kehidupan. Patung-patung itu memang ingin berkata tentang hakikat penderitaan menuju sebuah kebangkitan.
"Di kompleks wisata religi ini, saya memang ingin mengangkat penderitaan orang Manado agar selalu ingat akan penderitaan. Orang yang tahu penderitaan pasti akan selalu mendapat berkat," kata Ciputra.
Barangkali senapas dengan yang diharapkan Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundayang saat meresmikan proyek itu. Monumen tersebut bukan sekadar penunjang infrastruktur berkait dengan keberadaan kompleks perumahan yang dibangaun Ciputra di kawasan itu. Bangunan itu diharapkan benar-benar menjadi refleksi iman yang tulus dari pembuatnya. Monumen diharapkan menjadi tempat perenungan perjuangan manusia dalam menghadapi penderitaan.
Pengertian lebih jauh dari refleksi iman yang diungkapkan Sarundayang adalah tempat ini bukan sekadar ikon wisata agama, tetapi lebih dari itu. Keberadaannya bisa menjadi refleksi universal bahwa tempat ziarah religi itu juga bisa melahirkan perenungan sosial kepada masyarakat.
Karena itulah, saat ziarah di tempat ini kita juga bisa menyaksikan sejarah sosial kemasyarakatan, bisa menyaksikan sebuah penderitaan hidup. Atas penderitaan itu manusia harus berusaha bagaimana menuju kepada kebangkitan.
Hal itu tampaknya yang diharapkan Ciputra dalam bukunya, Manusia Unggul yang Disertai Tuhan. Bagaimana kita harus menjadi bangkit dari penderitaan, kemudian menjadi manusia unggul yang tidak sekadar mengandalkan otak, tetapi juga memiliki spirit religiusitas.
Inspirasi