Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Geribik ke Rumah Gedong

Kompas.com - 13/10/2010, 07:30 WIB

Dalam setahun, penarikan dilakukan dua kali, yaitu seusai panen padi. Jadi, dalam setahun setidaknya dua rumah bisa dibangun dari arisan ini. ”Yang ’narik’ terserah siapa yang sudah siap lebih dulu,” ujar Sunarti.

Sebelum ”narik”, peserta menyiapkan dahulu bahan-bahan pendukung material lainnya, seperti batu bata dan genteng. Batu batu-batu bata buatan sendiri ini biasanya ditaruh berjajar di samping rumah-rumah lama yang masih berwujud geribik atau bilik-bilik bambu. Hal ini menjadi pemandangan umum di kampung ini.

Pertanyaan berikutnya, dari mana tenaga pengerjaannya? ”Ya, kami-kami inilah (anggota arisan). Kalau tidak, dari mana lagi?” ujar Suratman (53), warga Dusun II, Desa Sendang Mulyo, di sela-sela pengerjaan rumah baru milik tetangganya yang baru saja menikah.

Ia dan sembilan warga lainnya saat itu bekerja sebagai ”tukang dadakan” membangun rumah. Ada yang bertugas mengaduk semen, ada yang mengantar hasil adukan, sisanya menyusun batu bata menjadi dinding-dinding bangunan. Satu orang, si ketua arisan di dusun setempat, Suparman (52), bertugas mengomandoi pekerjaan ini.

Kurang dari seminggu, bangunan 9 meter x 10 meter, terdiri atas lima kamar berukuran besar, hampir selesai. Hal yang tidak mungkin terjadi jika dikerjakan oleh segelintir tukang.

Semua pekerjaan dilakukan secara sukarela tanpa bayaran sepeser pun. Makan dan rokok didapat dari iuran arisan yang telah dikumpulkan sebelumnya. ”Kami mau melakukan ini karena ingin punya rumah gedong, tidak lagi geribik. Kalau ingin dibantu, harus membantu dahulu,” ujar Suparman.

Rumah gedong adalah istilah warga sekitar untuk bangunan rumah berupa batu bata dan semen. Belasan tahun lalu, mayoritas rumah warga di Sendang Mulyo masih berupa geribik. Namun, jika dilihat sekarang, hampir semuanya telah berganti wajah: rumah gedong!

”Masih sih ada segelintir yang berupa geribik. Mereka inilah yang biasanya tidak ikut arisan. Jadinya gitu-gitu aja rumahnya,” ungkap Jumeri, salah seorang tokoh desa di Kampung Sendang Mulyo. Modal sosial

Ke depan, saat semua warga sudah memiliki rumah yang memadai untuk tinggal, mereka berancang-ancang untuk meningkatkan fungsi arisan. Tidak hanya untuk membangun rumah, tapi juga untuk membeli motor atau pinjaman biaya sekolah.

”Jadi tidak perlu lagi ada bunga-bunga segala dan harus puyeng berurusan dengan bank,” ungkap Sunarti.

Warga di Kecamatan Sendang Agung mayoritas adalah buruh tani, sebagian kecil jadi petani kakao. Mereka mayoritas perantau asal Jawa. Hidup di daerah ini tidaklah mudah karena sebagian besar wilayahnya berada di kawasan hutan register yang dilindungi.

Penghasilan mereka pun tidak menentu, rata-rata di bawah Rp 400.000 per bulan. Bagi mereka yang sangat miskin, tidak sanggup ikut arisan, warga tidak begitu saja menutup mata. ”Kami tetap bergotong royong membangun rumah dengan sumbangan material seadanya. Tidak bagus memang, tapi yang penting uyup (tidak bocor),” ungkap Nud Sucipto, Kepala Desa Sendang Baru.

Kuatnya kebersamaan warga Kecamatan Sendang Agung yang dimodali kesamaan nasib ini membuat banyak LSM dan pihak luar terkesan. Mereka telah memberikan contoh nyata bahwa modal sosial gerakan masyarakat madani bisa jadi modal paling berharga, mengalahkan modal finansial sekalipun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com