Siwi Yunita Cahyaningrum dan Dody Wisnu Pribadi
Dari kekayaan flora dan fauna, Meru Betiri membawa cerita kemakmuran dari abad ke abad. Secuil hutan di Jawa bagian selatan ini memakmurkan manusia dari kekayaan tanaman obat, perkebunan, hingga perannya dalam perdagangan karbon dunia.
” Harta karun” Taman Nasional Meru Betiri
Pohon kluwak, ketapang, asem, dan pepohonan lain sebesar rentangan tangan berpadu dengan perdu dan lilitan rotan jawa menghiasi perjalanan selama dua jam perjalanan. Sesekali gerombolan monyet ekor panjang terlihat bergelantungan di pepohonan mencari makan di pohon cermai.
Selain monyet, kawasan ini juga jadi habitat sejumlah hewan langka. Penyu adalah satwa khas Meru Betiri. Penyu-penyu langka seperti penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) ditangkarkan di Pantai Sukamade, ujung timur Meru Betiri. ”Hanya di Pantai Sukamade penyu-penyu mau bertelur. Pantai ini memang habitat mereka sejak dulu,” kata Aulya (20), mahasiswa Institut Pertanian Bogor, peneliti penyu.
Kami bertemu dengan
Beberapa teman sekampusnya juga terpikat dengan
Jauh sebelum masa sekarang, kekayaan satwa dan hutan alam Meru Betiri ini lebih dahulu memikat hati Pemerintah Belanda. Berdasarkan data sejarah TNMB, Belanda sudah menjadikan Meru Betiri sebagai kawasan yang wajib dilestarikan pada 1929. Pertimbangannya agar ekosistem hutan dan kekayaan alam di dalam hutan seluas 58.000 hektar tersebut terjaga. Termasuk kekayaan yang menjadi harta karun zaman itu dan juga zaman-zaman sesudahnya.
Meru Betiri juga menjadi pusat penelitian tanaman obat. Dari 518 jenis tumbuhan yang berhasil diinventarisasi TNMB, sebanyak 239 jenis di antaranya merupakan tanaman obat.
Ahli biologi Universitas Jember, Harry Sulistyowati, dua tahun terakhir menginventarisasi kekayaan biota Meru Betiri.