Upaya rekonstruksi diri pada akar ikatan sosial eksklusif adalah respons terhadap dinamika hidup perkotaan, yang esensinya persaingan dan konflik kepentingan. Ikatan-ikatan sosial eksklusif etnis-religius yang tumbuh kuat merupakan instrumen sosial mencapai tujuan, diciptakan untuk meraih kemenangan.
Oleh karena itu, lobi dan negosiasi tertentu dalam dinamika persaingan dan konflik kepentingan sering kali menggunakan ikatan sosial eksklusif tertentu. Bahkan, kelompok-kelompok kriminal dari berbagai kelas, dari kelas copet sampai mafia bisnis, memobilisasi ikatan sosial eksklusif untuk menghadapi persaingan dan konflik kepentingan.
Dampak rekonstruksi ikatan sosial eksklusif itu, individu dalam lingkungan tertentu mampu memosisikan individu lain, tetangga, yang berbeda akar komunitas etnis-religiusnya sebagai ”rival”. Sapaan sehari-hari bisa hadir sekadar basa-basi. Individu jadi enggan berpartisipasi dalam siskamling atau gotong-royong bersih lingkungan karena dianggap bisa mempertemukannya dengan rival. Sebaliknya, sangat aktif dalam aktivitas-aktivitas ikatan sosial eksklusif yang berlangsung di luar lingkungannya.
Diane E Davis (Cities and Sovereignty: Identity Politics in Urban Spaces, 2011) memperingatkan, masyarakat perkotaan yang disarati konstruksi ikatan sosial eksklusif, berbasis etnis-religius, sesungguhnya area subur bagi tumbuhnya politik identitas. Mereka disusun oleh relasi-relasi yang terpolitisasi oleh ikatan-ikatan sosial eksklusif. Setiap relasi yang dibangun dalam lingkungan sosial jadi tidak ”tulus”, bahkan mampu menciptakan eskalasi kekerasan dan kriminalitas di sudut-sudut perkotaan.
Pada kenyataannya ikatan sosial masyarakat perkotaan mengalami transformasi sosial kontradiktif. Pertama, melonggarnya ikatan sosial inklusif. Setiap anggotanya tak lagi mampu bekerja sama dan peduli terhadap lingkungan yang heterogen oleh komposisi etnis-religius berbeda. Kedua, menguatnya ikatan-ikatan sosial eksklusif berbasis etnis-religius sebagai instrumen sosial untuk memenangi persaingan dan konflik kepentingan atas sumber daya di kota.
Berhadapan dengan transformasi ikatan sosial kontradiktif perkotaan yang memberi konsekuensi merugikan ini, kepemimpinan di setiap level struktur masyarakat harus melakukan gerak. Suatu gerak yang memungkinkan tumbuh kembangnya ikatan sosial inklusif. Tentu saja, gerak responsif ini membutuhkan komitmen besar untuk menjadikan kota sebagai wilayah yang aman, nyaman, dan inklusif.