Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemaludin, Dokter "Endog" dari Tasikmalaya

Kompas.com - 17/01/2012, 09:24 WIB

Otaknya dipaksa berpikir. Hingga suatu waktu ia melihat lemari baju pakaian milik saudaranya yang tak terpakai lagi. Dia pun berkreasi dengan alat yang ada. Dengan menambahkan tiga lampu berkekuatan 5 watt dan termometer, Kemaludin mengubah lemari itu menjadi media penetasan darurat dengan kapasitas 300 butir telur.

Awalnya, metode itu tidak berjalan semulus harapan. Setelah 28 hari masa penetasan, hanya 100 telur dari 200 telur yang menetas. Sisanya busuk dan tidak menetas. Penyebabnya, listrik yang sering putus di Sukaratu. Dalam sehari, listrik bisa padam berjam-jam tanpa sebab pasti. Akibatnya, telur tak mendapatkan suhu hangat ideal sehingga memicu kematian janin.

”Telur mati atau busuk harus segera disingkirkan karena berbahaya merusak telur lain. Gas amoniak dari telur busuk bisa menular pada telur lainnya,” katanya.

Untuk mengatasi masalah putus sambung listrik, Kemaludin berinovasi dengan minyak jelantah. Diletakkan di bawah media penetasan, pemanas berbahan bakar minyak jelantah menjadi bahan bakar alternatif penghangat telur. Hasilnya memuaskan. Saat listrik putus, telur mendapat kehangatan dari api berbahan minyak jelantah. ”Tingkat kegagalan penetasan telur bisa ditekan menjadi 2-3 persen,” katanya.

Pemuda pelopor

Perlahan, jumlah telur yang ditetaskan semakin banyak dan memberikan keuntungan ekonomi lebih besar. Keuntungannya, digunakan untuk membuat media penetasan baru. Pengembangan teknis dilakukan untuk memaksimalkan hasil penetasan.

Dia pun kemudian memodifikasi media penetasan ala lemari baju itu. Kemaludin membuat lemari kayu khusus tingkat empat berukuran 124 x 70 x 60 sentimeter. Lemari dengan dimensi seperti itu mampu menampung 500-600 telur. Media penetasan baru itu dilengkapi lima lampu berkekuatan 5 watt, termometer, pemutus arus bila suhu terlalu tinggi, dan higrometer untuk mengukur kelembaban media penetasan.

Telur yang ditetaskan bertambah banyak. Dalam sebulan, ia bisa menetaskan 5.000 telur dengan omzet Rp 15 juta per bulan. Bebek hasil penetasan berusia 2-3 hari dijual Rp 6.500 per ekor untuk betina dan Rp 2.500 per ekor untuk jantan. Nyaris tidak ada yang tersisa karena sebelum menetas, telur sudah dipesan peternak bebek.

”Pernah ada pesanan dari perusahaan katering maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Mereka meminta 1.000 bebek per hari. Terpaksa ditolak karena kami belum mampu menyediakan,” kata Kemaludin.

Keberhasilannya memutar otak dan memberdayakan masyarakat sekitar menimbulkan pengakuan positif. Inovasi pembuatan alat tetas sederhana membawanya merengkuh Pemuda Pelopor Kabupaten Tasikmalaya dan Jawa Barat pada tahun 2011 di bidang teknologi tepat guna. Ia menyisihkan karya pemuda lain bermodal puluhan kali lebih besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com