Guncangan yang terjadi terhadap harga kedelai saat ini pada tataran makro diakibatkan oleh liberalisasi sektor pangan yang terlalu berlebihan. Sementara pada sisi mikro, lebih karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan persediaan kedelai di tingkat nasional. Hal ini karena: (1) produksi yang tidak mencapai target dan (2) tata niaga kedelai yang cenderung merugikan petani dan perajin tahu-tempe.
Dalam konteks produksi, kita justru mempertanyakan dana APBN yang terus meningkat, yang katanya dipergunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional, tetapi tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Malah yang terjadi, impor meningkat terus.
Fenomena yang terjadi saat ini sebenarnya juga merugikan petani kedelai, produsen tahu-tempe yang tidak dapat berproduksi, dan berakibat tahu-tempe jadi barang langka. Bila dibiarkan berlarut akan menimbulkan keresahan sosial.
Untuk itu, ada beberapa langkah alternatif yang dapat dilakukan. Dalam jangka pendek hingga menengah, produksi kedelai harus ditingkatkan. Para petani kedelai diberikan sejumlah insentif bukan hanya berupa benih, melainkan juga insentif harga. Pemerintah melalui Bulog perlu memiliki stok penyangga (buffer stock) untuk kedelai sehingga dapat melakukan operasi pasar dan memperbaiki tata niaga saat ini. Kepada para perajin kedelai diberikan insentif berupa subsidi harga dengan jumlah tertentu. Dengan begitu, mereka terus dapat berproduksi dan ketersediaan pangan rakyat tetap terjaga dengan harga yang lebih stabil.
Dalam jangka lebih panjang, diversifikasi sumber protein harus lebih dimasyarakatkan. Hal itu mengingat tingginya permintaan kedelai dunia dan rendahnya produksi kedelai dalam negeri pada gilirannya akan menciptakan ketergantungan terhadap impor. Karena itu, sumber protein seperti telur dan ikan perlu diregulasi sejak dini. Mengarah pada alternatif jangka panjang ini, perlu dipersiapkan infrastruktur yang mendukung, baik berupa sumber daya manusia, teknologi, maupun regulasi.
Dengan melakukan ini, pemerintah berarti mengubah paradigma pembangunan ekonominya dan menjadikan pangan soal hidup-mati bagi bangsa Indonesia, seperti yang diungkapkan Bung Karno di Bogor pada 1959.