Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gonjang-ganjing Republik Kedelai

Kompas.com - 07/08/2012, 02:23 WIB

Khudori

Selama tiga hari, 25-27 Juli, tahu dan tempe menghilang dari pasaran. Bukan lantaran beracun dan ditarik dari pasaran, melainkan karena produsen tahu dan tempe mogok kerja.

Mereka menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai yang kini harganya melambung. Kenaikan harga kedelai memang jauh dari toleransi. Dibanding Januari lalu, harga kedelai naik 49 persen (Kompas, 23/7/2012).

Solusi menekan margin keuntungan dan menciutkan kapasitas produksi, mengurangi ukuran, dan menurunkan mutu produk tidak lagi menolong. Dari sisi input, semua bahan perantara industri ini harganya naik, seperti minyak goreng, terigu, gula, dan telur. Menaikkan harga, produsen terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula, tak seperti sektor yang entry-exit barrier-nya tinggi, konsumen sektor ini peka harga (price elastic). Ketika harga naik, permintaan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha.

Jika tak ada solusi dalam jangka pendek, dipastikan barisan penganggur akan bertambah. Sektor ini telah menghidupi ratusan ribu rakyat jelata: dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap, pedagang tahu-tempe hingga penjual gorengan. Bagi konsumen, lenyapnya tahu-tempe dari pasar adalah kerugian besar. Dari sisi harga, protein tempe-tahu jauh lebih murah ketimbang telur dan daging.

Gonjang-ganjing kedelai saat ini bukan yang pertama. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2008 saat krisis pangan mengoyak. Dalam setahun, harga kedelai naik 218 persen. Produsen/pedagang tempe-tahu mogok dan demo. Akhirnya pemerintah membebaskan bea masuk dan menyubsidi kedelai kepada produsen tahu-tempe Rp 1.000 per kilogram selama tiga bulan. Tidak ada kebijakan berdimensi jangka panjang sebagai antisipasi bila kejadian serupa terulang. Kealpaan mengambil pelajaran pada 2008 itu berbuah pahit saat ini.

Gonjang-ganjing kedelai tak mungkin diselesaikan dengan cara-cara ad hoc dan jangka pendek. Solusi harus menusuk jantung masalah, meminjam istilah Prof Pantjar Simatupang (2012), yaitu fenomena ”dekedelaisasi”. Dekedelaisasi terjadi lantaran tiga segitiga ini: penurunan hasil relatif kedelai, penurunan harga relatif, dan serbuan impor.

Penurunan hasil relatif kedelai terjadi karena daya saing kedelai terhadap jagung, tebu, dan padi merosot. Produktivitas dan harga relatif menurun. Ujung-ujungnya usaha tani kedelai tidak menguntungkan. Ini yang membuat petani domestik meninggalkan kedelai.

Emoh menanam kedelai ini sudah amat gawat. Pada 1992, luas panen kedelai masih 1.665.706 hektar dan tinggal 620.928 hektar pada 2011. Karena produktivitas naik lambat, konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,843 juta ton (2011). Ini terjadi karena jalinan dua faktor: liberalisasi serta kesenjangan hasil penelitian dan adopsi petani.

Sejak jadi ”pasien” IMF

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER MONEY] Cara Cek Formasi CPNS 2024 di SSCASN | Prabowo soal Anggaran Makan Siang Gratis

[POPULER MONEY] Cara Cek Formasi CPNS 2024 di SSCASN | Prabowo soal Anggaran Makan Siang Gratis

Whats New
Insiden Pesawat Haji Terbakar, Bos Garuda: 'Confirm' Disebabkan Internal 'Engine'

Insiden Pesawat Haji Terbakar, Bos Garuda: "Confirm" Disebabkan Internal "Engine"

Whats New
Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Spend Smart
Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Earn Smart
Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Spend Smart
Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Whats New
Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Whats New
Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Whats New
Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-'grounded' Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-"grounded" Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Whats New
ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

Whats New
Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Whats New
Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Whats New
ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

Whats New
Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Whats New
Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com