Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Izinkan Rupiah Mengalami Relaksasi

Kompas.com - 27/08/2012, 05:44 WIB

A TONY PRASETIANTONO

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,3 persen pada semester I-2012 ternyata tidak gratis. Setidaknya ada dua konsekuensi negatif, yakni konsekuensi fiskal dan neraca pembayaran. Konsekuensi fiskal berupa subsidi energi yang sangat besar—diperkirakan subsidi bahan bakar minyak Rp 200 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun dari APBN-P 2012 sebesar Rp 1.500 triliun—menyebabkan postur anggaran pemerintah menjadi tidak sehat.

Di satu pihak, subsidi energi banyak membantu menekan inflasi menjadi 4,6 persen sehingga suku bunga acuan dapat ditekan menjadi 5,75 persen dan pertumbuhan ekonomi dapat didorong di atas 6 persen. Namun, di sisi lain, besarnya subsidi telah menggerogoti anggaran sehingga minim stimulus. Postur anggaran semacam ini diragukan keberlanjutannya.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi 6,3 persen tahun 2012 harus dibayar dengan ongkos lemahnya stimulus fiskal karena dananya banyak terserap untuk alokasi subsidi energi. Belanja infrastruktur hanya Rp 174 triliun (tahun 2012) dan diproyeksikan Rp 188 triliun (tahun 2013), kalah dibandingkan subsidi energi. Ke depan, kemampuan pemerintah berbelanja modal, termasuk penyediaan infrastruktur, menjadi kian lemah. Ini akan menjadi ”bom waktu”.

Sebagai ilustrasi, India adalah negara yang mengebut dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi lalai dalam penyediaan infrastruktur. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India digenjot di atas 8 persen. Namun, semua ada batasnya. Baru-baru ini India mengalami listrik mati terburuk. Pertumbuhan ekonomi terkoreksi hanya 5,3 persen.

Defisit transaksi berjalan dalam setahun terakhir mencapai 78 miliar dollar AS, atau 4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Inflasi 10 persen. Defisit anggaran membengkak menjadi 5,5 persen dari PDB, padahal normalnya hanya 2 persen. Karut-marut ini terutama karena buruknya infrastruktur, seperti jalan raya dan listrik. India disarankan membangun listrik berdaya nuklir, tetapi masyarakat menentangnya (The Economist, 11-17 Agustus 2012).

Kisah India cukup mirip dengan Indonesia. Dari sisi neraca pembayaran, sinyal bahaya sudah muncul. Defisit perdagangan sudah 1,3 miliar dollar AS (Juni 2012), sedangkan defisit transaksi berjalan 6,9 miliar dollar AS, atau 3,1 persen atas PDB pada triwulan II-2012. Sedikit hiburan, neraca modal, di mana dana asing masuk melebihi dana keluar, sehingga ada surplus 5,5 miliar dollar AS. Namun, jika dijumlah dengan transaksi berjalan, masih defisit 1,4 miliar dollar AS. Memburuknya neraca eksternal membuat cadangan devisa dan rupiah terus merosot.

Apa yang mesti kita lakukan? Setidaknya ada tiga inisiatif. Pertama, dari sisi pengendalian impor, pilihannya adalah menekan impor barang modal yang terjadi sebagai konsekuensi dari meningkatnya kegiatan investasi, ataukah menekan impor minyak mentah. Jika impor barang modal ditekan, konsekuensinya investasi berkurang, dan pertumbuhan ekonomi bakal melambat.

Indonesia juga bisa memperketat impor dengan menaikkan standar kualitas barang impor, dikaitkan isu lingkungan. Meski ada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), praktik ini sering dilakukan banyak negara, termasuk AS yang sibuk menekan defisit perdagangan 483 miliar dollar AS, defisit terbesar di dunia.

Pilihan lain, menekan impor minyak mentah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dan tarif listrik. Solusi ini memang sepintas terasa ”kejam” karena akan mendorong inflasi. Namun, manfaatnya, mendorong masyarakat lebih berhemat mengonsumsi energi. Perilaku konsumtif dapat ditekan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com