Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Izinkan Rupiah Mengalami Relaksasi

Kompas.com - 27/08/2012, 05:44 WIB

Soal kekhawatiran inflasi jika harga BBM dinaikkan Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per liter tahun 2013 diduga hanya akan mendorong inflasi menjadi 6 persen. Lebih tinggi daripada inflasi 2012 yang 4,5 hingga 5 persen. Namun, sejarah ekonomi Indonesia, inflasi 6 persen masih dalam toleransi dan terjangkau (affordable) bagi masyarakat. Tahun 2013 akan menjadi saat yang paling memungkinkan menaikkan harga BBM. Jika ditunda lagi tahun 2014, risiko politiknya lebih besar karena bersamaan dengan agenda pemilu.

Kedua, upaya mencari pasar ekspor baru harus terus dilakukan meski harus berebut dengan negara lainnya. Afrika kini sedang memasuki era kebangkitan kelas menengah. PDB Afrika kini 1,8 triliun dollar AS, dengan penduduk bakal 1,3 miliar tahun 2020.

Jumlah penduduk kelas menengah kini 35 persen. Kelas menengah didefinisikan sebagai ”penduduk dengan daya beli 2 hingga 20 dollar AS per hari berdasarkan purchasing power parity (PPP)". Profil semacam ini menjadi pasar empuk bagi produsen barang konsumsi, seperti Unilever dan Nestle (The Economist, 18-24 Agustus 2012). Indonesia harus cepat mengantisipasi kebangkitan Afrika meski tidak bisa instan.

Ketiga, karena neraca pembayaran tertekan, rupiah cenderung volatil. Dalam setahun terakhir, rupiah terkoreksi dari Rp 8.538 (Agustus 2011) menjadi Rp 9.500 per dollar AS (Agustus 2012), atau terdepresiasi 12 persen. Masih lebih baik daripada depresiasi rupee India (23 persen). Akhir-akhir ini Bank Indonesia (BI) cukup repot menjaga stabilitas rupiah. Dalam posisi cadangan devisa yang turun menjadi 106 miliar dollar AS, BI harus lebih realistis dalam target kurs rupiah.

Rupiah tidak perlu didorong kembali ke level yang terlalu kuat, sekitar Rp 9.000 per dollar AS. Di tengah krisis global seperti sekarang, rupiah perlu dibiarkan sedikit menempuh relaksasi. Di AS dan zona euro juga ditempuh kebijakan relaksasi moneter. Selain mempertahankan suku bunga rendah, mereka juga melakukan quantitative easing, yakni menambah jumlah uang beredar (mencetak uang) untuk dibelikan obligasi pemerintah. Tujuannya agar harga obligasi pemerintah tidak turun atau hasil imbalnya tidak naik. Konsekuensinya, kurs mata uangnya melemah, tetapi ini berakibat baik untuk mendorong ekspor.

Rupiah bisa diposisikan mirip. Saat neraca perdagangan tertekan, instrumen yang bisa diberdayakan adalah kurs rupiah. Karena kapasitas cadangan devisa terbatas, BI harus lebih selektif intervensi. Izinkan rupiah melemah, misalnya sampai Rp 9.600 per dollar AS, agar membantu daya saing ekspor.

Sementara itu, harga minyak dunia mulai berangsur naik menjadi 115 dollar AS (Brent) dan 96 dollar AS (WTI) per barrel. Jika hal ini juga diikuti harga komoditas primer andalan kita (sawit, batubara, timah, karet), defisit perdagangan Indonesia mestinya mulai mengecil sejak Juli. Kita tunggu data resmi BPS pekan depan.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com