Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cuma Satu Senjata Telkomsel Atasi Kepailitan

Kompas.com - 25/09/2012, 11:15 WIB
Didik Purwanto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutuskan bahwa PT Telkomsel berstatus pailit pada 14 September 2012 lalu. Lantas, apakah masih ada peluang bagi Telkomsel untuk menang saat banding?

Pada Jumat (21/9/2012), Telkomsel telah mengajukan kasasi ke pengadilan. Pihaknya siap beradu argumentasi dengan PT Prima Jaya Informatika selaku penggugat. Dalam memori kasasinya, Telkomsel menyertakan sejumlah alasan hukum mengapa dirinya tidak pantas dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Memang bila dilihat dari kesehatan keuangan, perseroan tidak mengalami masalah. Bahkan sangat jauh bila diberi status pailit. Namun, pengadilan ternyata tidak memandang perseroan dari kesehatan keuangannya. Tapi, pengadilan melihat apakah ada tindakan yang merugikan pihak lain atas kesepakatan yang telah dicapainya. Ternyata, pengadilan justru memenangkan pihak penggugat (PT Prima Jaya Informatika) dan Telkomsel terpaksa menerima status pailit.

"Hanya ada satu senjata bagi Telkomsel untuk memenangkan kasus tersebut. Telkomsel harus all out dalam kasasi nanti. Buktikan dengan alasan yang kuat sehingga pengadilan bisa mencabut status pailit itu," kata pengamat telekomunikasi Heru Sutadi, Selasa (25/9/2012).

Menurut Heru, Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan dan Penundaan Kewajiban Pemegang Utang ini memang sudah kepalang tanggung. Aturan tersebut sebenarnya muncul saat masa krisis moneter pada 1998 lalu. Saat itu, banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang atas kondisi yang ada sehingga muncullah aturan itu.

Masalahnya, kata Heru, aturan tersebut tidak membedakan antara perusahaan yang mampu membayar atau tidak. Pengadilan berhak memutus pailit bagi perusahaan yang sehat sekalipun, bila terindikasi melakukan kesalahan.

"Nah, Telkomsel dianggap sama saja. Meski keuangannya sehat, labanya banyak, asetnya triliunan, kalau sudah diputus pailit, maka perusahaan pun harus patuh kepada hukum," jelasnya.

Kendati demikian, Telkomsel tidak akan secara gampang memenangkan kasasi ini. PT Jaya Prima Informatika tentunya juga menyiapkan dalil-dalil pembenaran agar status pailit tetap terlekat di Telkomsel. Atau bisa saja Telkomsel akan melunak atas kasus tersebut. Sehingga memilih jalan damai di antara keduanya, sebelum memori kasasi masuk ke Mahkamah Agung.

"Masih ada peluang untuk berdamai, kalau Telkomsel mau. Ini khususnya bila Telkomsel tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kuat kalau Telkomsel tidak bersalah," jelasnya.

Caranya adalah sebelum memori kasasi masuk ke Mahkamah Agung, kedua pihak bisa bersepakat mengakhiri kasus. Intinya ada mediasi di antara kedua perusahaan. "Dampaknya, Telkomsel harus membayar sejumlah uang atas utang yang terjadi, yaitu Rp 5,26 miliar sesuai gugatan," katanya.

Kendati demikian, kuasa hukum Telkomsel Ricardo Simanjuntak tentunya tidak akan tinggal diam. Dalam perjalanan karirnya, dia pernah menangani kasus serupa namun dengan perusahaan berbeda. Di kasus tersebut, dia berhasil memenangkan kasasi.

"Kami akan buktikan di kasasi nanti. Kami sudah siapkan bukti-bukti kuat bahwa klien tidak bersalah," kata Ricardo.

Menurut Ricardo, Telkomsel tidak melakukan kesalahan karena Telkomsel tidak melanjutkan kontrak dengan PT Prima Jaya Informatika. Putusan kontrak tersebut karena PT Prima Jaya Informatika pada kontrak sebelumnya tidak berhasil memenuhi kewajiban penjualan sejumlah voucher isi ulang dan kartu perdana.

Sekadar catatan, Telkomsel menunjuk Prima Jaya mendistribusikan kartu prima voucher isi ulang dan kartu perdana pra bayar. Adapun jumlah voucher yang harus didistribusikan Prima Jaya mencapai 10 juta kartu perdana dan 120 juta lembar voucher isi ulang, yang terdiri dari voucher isi ulang seharga Rp 25.000 per lembar dan yang Rp 50.000 per lembar. Perjanjian itu dibuat sejak tanggal 1 Juni 2011 untuk jangka waktu dua tahun.

Kerja sama itu kandas di tengah jalan. Prima Jaya menuding Telkomsel menghentikan pendistribusian kartu prabayar tersebut sejak 21 Juni 2012 lalu. Padahal Prima Jaya sudah mengirimkan dua kali pemesanan supaya voucher tersebut dikirimkan. Alhasil, Prima Jaya merasa dirugikan. Nilainya mencapai Rp 5,3 miliar. Kerugian inilah yang kemudian diklaim sebagai utang.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com