Dalam jangka panjang, kondisi pasar yang demikian bisa berakibat kontraproduktif. Pelaku pasar, baik investor sektor riil maupun portofolio, akan memandang rupiah sebagai mata uang yang tidak likuid. Hal ini membuat pasar rentan terhadap isu kontrol devisa dan kalangan perbankan sulit melaksanakan manajemen risiko. Likuiditas pasar valas yang ketat juga bisa menaikkan biaya lindung nilai (hedging) perusahaan sektor riil.
Sebenarnya ’alergi’ pelemahan ke level 10.000 tidak perlu berlebihan. Pelemahan rupiah bisa menjadi sarana penyesuaian untuk mengurangi impor sekaligus kontrol terhadap peningkatan utang valas baru. Belajar dari pengalaman, dampak depresiasi rupiah bisa diminimalkan apabila pelemahannya terjadi tidak tiba-tiba (orderly).
Memang, saat rupiah melemah melampaui level Rp 10.000 per dollar AS tahun 2005 dan 2008, tingkat keyakinan masyarakat dan pelaku usaha terhadap perekonomian turun tajam. Indeks keyakinan konsumen dan indeks bisnis anjlok.
Namun, saat ini tingkat keyakinan konsumen dan pelaku usaha terjaga cukup baik dan malah meningkat walaupun rupiah telah melemah lebih dari 14 persen dibandingkan pertengahan 2011. Padahal, sebagaimana tahun 2005 dan 2008, tahun lalu sempat terjadi penarikan modal investor asing yang signifikan, ditandai dengan defisit pada neraca pembayaran Indonesia paruh pertama tahun lalu.
Hal penting yang membedakan episode pelemahan rupiah sekarang ini dengan sebelumnya adalah depresiasi terjadi secara gradual. Ini seiring dengan kebijakan pengelolaan nilai tukar BI yang relatif lebih baik dengan cadangan devisa lebih kuat.
Selain itu dampak pelemahan rupiah terhadap perekonomian dipengaruhi juga oleh pergerakan nilai tukar rupiah secara ’riil’, yang berarti memperhitungkan perubahan harga barang-barang impor di negara asal. Akibat lemahnya pertumbuhan ekonomi global, pabrik di negara mitra dagang Indonesia, termasuk RRC, kelebihan kapasitas sehingga mereka menurunkan harga barang yang diekspor.
Ke depan, seyogianya harga bahan bakar minyak dinaikkan secara signifikan agar defisit neraca perdagangan migas mengecil dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah mereda. Bank sentral hendaknya terus menjaga volatilitas nilai tukar rupiah dan di samping itu juga harus terus menjaga likuiditas pasar valas.