Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertumbuhan Ekonomi India Turun Tajam ke 5,7 Persen

Kompas.com - 01/09/2017, 12:48 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

NEW DELHI, KOMPAS.com - Pertumbuhan India tercatat sebesar 5,7 persen pada periode April-Juni 2017, menurut data resmi pemerintah. Angka tersebut turun tajam dibandingkan 7,1 persen pada periode yang sama tahun lalu.

Selain itu, angka tersebut juga merupakan rekor terendah dalam tiga tahun. Perlambatan ekonomi tersebut telah membuat India tidak lagi menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia.

Mengutip CNN Money, Jumat (1/9/2017), penyebab utama perlambatan ekonomi India adalah reformasi besar yang dilakukan Perdana Menteri Narendra Modi.

Tahun lalu, Modi menarik 86 persen uang yang beredar di nefgara tersebut. Selain itu, Modi juga memperkenalkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang dan jasa.

(Baca: Lewat Foto Instagram, India Kejar Wajib Pajak)

"Ada pukulan besar terhadap pertumbuhan (ekonomi) yang disebabkan perubahan yang bersifat disruptif. Awalnya ada penarikan uang kertas, lalu saat ini dampak PPN mulai memukul dan tampaknya akan bertahan selama beberapa kuartal," kata Anubhuti Sahay, kepala riset Asia Selatan di Standard Chartered.

Penerapan PPN menandai perubahan signfikan pada sistem perpajakan India. Pajak ini menggantikan jaringan rumit tarif lokal dan menyatukan 29 negara bagian di India menjadi pasar tunggal untuk pertama kalinya.

Awalnya, kebijakan itu diekspektasikan bakal mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, kalangan ekonom memprediksi adanya disrupsi selama berbulan-bulan sejalan dengan kalangan usaha yang beradaptasi dengan sistem baru dan semakin banyak orang yang masuk ke sistem perpajakan.

(Baca: India Lakukan Reformasi Pajak Terbesar dalam 70 Tahun)

 

Sementara itu, penarikan uang kertas telah memicu perlambatan ekonomi India menjadi 6,1 persen pada kuartal I 2017.

Sebelumnya pada kuartal IV 2016, pertumbuhan ekonomi India mencapai 7 persen. Modi menerapkan penarikan seluruh uang kertas pecahan besar, yakni 500 dan 1.000 rupee dari pasaran pada November 2016 lalu.

Penarikan ini memicu kekacauan, lantaran jutaan warga India harus antri untuk menukarkan uang mereka dan kegiatan ekonomi India terpaksa stagnan.

Kalangan pakar menyatakan, pemerintah India harus dengan cepat menunjukkan dampak demonetisasi tersebut.

"Dampak negatif demonetisasi akan berlangsung lama untuk tahun depan, atau bahkan lebih lama," ujar Pronab Sen, kepala bagian India di International Growth Center. 

Kompas TV India Perkenalkan Kereta bertenaga Surya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Spend Smart
Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Earn Smart
Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Spend Smart
Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Whats New
Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Whats New
Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Whats New
Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-'grounded' Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-"grounded" Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Whats New
ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

Whats New
Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Whats New
Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Whats New
ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

Whats New
Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Whats New
Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Whats New
Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Whats New
BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com