Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Zimbabwe Gagal Bayar Utang ke China, hingga Izinkan Mata Uang jadi Yuan

Kompas.com - 22/03/2018, 08:30 WIB
Pramdia Arhando Julianto,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak ada negara yang tidak membangun infrastruktur dalam prosesnya untuk berkembang. Dalam proses bertumbuh, sebuah negara memang memerlukan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur sebuah negara kerap kali membutuhkan dana segar atau pinjaman dari asing, salah satu yang sering dilakukan adalah dengan skema pinjaman utang luar negeri.

Akan tetapi pembiayaan infrastruktur melalui utang luar negeri tak selalu berjalan mulus, ada beberapa negara yang gagal bayar atau bangkrut. 

Peneliti di Institute dor Fevelopment of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman memberikan salah satu contoh negara tersebut, yakni Zimbabwe. 

Baca juga : Berita Populer: Kritik Pedas Faisal Basri Terhadap Kenaikan Utang Luar Negeri Indonesia

Zimbabwe adalah salah satu negara di selatan Afrika. Negara ini terkenal dengan pariwisata aneka satwa liarnya. Pada 2016, negara ini memiliki GDP per kapita 1.008 dollar AS. 

Menurut Rizal, Zimbabwe menelan pil pahit karena gagal membayar utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China.

Dalam kasus tersebut, Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada China, hingga akhirnya harus mengganti mata uangnya menjadi mata uang China atau Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. 

Penggantian mata uang itu berlaku sejak 1 Januari 2016, setelah Zimbabwe tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015.

Baca juga : Indef: Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 7.000 Triliun

Dengan contoh tersebut, Indef ingin agar pemerintah berhati-hati dan cermat terhadap kenaikan utang luar negeri. Terutama jika digunakan lebih banyak untuk pembiayaan infrastruktur. 

"Jadi ada bad story dan success story. Yang bad story itu Angola, Zimbabwe, Nigeria, Pakistan dan Sri Lanka," kata Rizal, Rabu (21/3/2018).

"Banyak beberapa negara, di antaranya Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga," ungkap Peneliti di Institute dor Fevelopment of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Tercatat, pada akhir 2014, utang pemerintah mencapai Rp 2.609 triliun dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB.

Sedangkan hingga akhir 2017, utang pemerintah mencapai Rp 3.942 triliun dengan rasio 29,4 persen.

Baca juga : Bangun Infrastuktur Pakai Utang dari China, Negara-Negara Ini Malah Bangkrut

 Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen (yoy) menjadi 357,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS).

Adapun rinciannya adalah 183,4 miliar dollar AS atau setara Rp 2.521 triliun utang pemerintah dan 174,2 miliar dollar AS atau setara Rp 2.394 triliun utang swasta.

Baca juga: Zimbabwe Akan Gunakan Yuan sebagai Mata Uang

Kompas TV Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang membandingkan utang luar negeri Indonesia dengan Jepang, menuai banyak kontroversi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com