Untuk keperluan itu, ia harus mengambil langsung ke Sabuai, 50 kilometer dari Pangkalan Bun, setidaknya dua kali seminggu. Sekali angkut, Aidi membawa dua galon, masing-masing bervolume 20 liter.
Namun, Aidi tak serta-merta langsung memasarkan minyak kelapa itu. Ia terlebih dahulu menyaringnya, layaknya pemrosesan virgin coconut oil (VCO) secara sederhana. Hasilnya memang sangat bening. Bahkan lebih bening dari minyak goreng berbahan sawit yang dijual di pasar. "Butuh waktu 5 sampai 6 jam untuk penyaringan 600 mililiter," kata Aidi.
Pria yang kesehariannya dikenal sebagai pemandu wisata di Taman Nasional Tanjung Puting ini, yakin minyak berbahan kelapa lebih sehat. Apalagi yang melalui penyaringan ketat. "Semakin kita saring, semakin rendah kolesterolnya. Memang mahal karena penyaringan," lanjutnya.
Sebagai pelaku wisata, Aidi juga membangun strategi menjual minyak kelapa pada para tour operator, yang menjual paket wisata ke Tanjung Puting, destinasi wisata yang menjadi habitat orangutan.
"Kita mengajak agen wisata untuk berkomitmen beli minyak kelapa. Karena ekowisata juga harus berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat lokal. Jadi bukan hanya bisnis orangutan," kata dia.
"Kalau mereka katakan (pada wistawan) pakai minyak kelapa, nilainya bagus lagi. Karena dibenak orang Eropa, minyak sawit itu hasil deforestasi atau pembakaran lahan," beber dia.
Namun, Aidi mengaku, untuk menjual minyak kelapa yang layak diberi harga mahal memang tidak mudah. Biasanya, ia memilih menjelaskan tentang manfaat dan proses pembuatannya yang tidak sederhana itu pada pelanggannya. Ini agar harga yang dipatoknya Rp20.000 per botol 600 mililiter, bisa diterima.
Selain itu, bersetia pada minyak kelapa di tengah pasar yang besar untuk kelapa sawit, ia akui tidak mudah. Ini juga terkonfirmasi lewat pengakuan Arsyadi. Ia mengatakan anak-anaknya lebih suka mengurus kelapa sawit.
"Ini mau buka kebun 13 hektare. Dana perawatannya dari keuntungan minyak kelapa," kata dia sambil tersenyum.