JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik utang pemerintah belakangan ini memunculkan pertanyaan tersendiri yang dinilai cukup mendasar, yakni untuk apa sebuah negara berutang?
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) memberikan penjelasan bahwa utang sebagai salah satu instrumen dilakukan karena negara melakukan belanja dalam rangka pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Kalau bicara pemerintahan, tiap presiden saat kampanye, kan, punya fokus-fokus. Fokusnya itu, katakanlah Pak Jokowi sekarang infrastruktur, kesehatan, sumber daya manusia, itu kan perlu uang. Uangnya dihitung kebutuhannya untuk mencapai itu," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Kemenkeu Scenaider Siahaan saat ditemui pada Selasa (21/8/2018).
Karena itu, instrumen utang ditempuh untuk memenuhi kekurangan dari belanja pemerintah dalam tahun anggaran berjalan.
Menurut Scenaider, sebuah negara bisa saja tidak perlu berutang, namun harus ada beberapa hal yang disesuaikan jika langkah itu yang ditempuh.
Langkah yang dimaksud yaitu mengurangi belanja dan menyesuaikan dengan jumlah penerimaan negara, baik dari perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maupun hibah.
Jika pemerintah mengurangi belanja, ada program-program yang pada akhirnya tidak terlaksana karena belanjanya tidak dimasukkan atau ditunda.
"Bisa juga belanjanya tetap fokus untuk yang penting, karena penerimaan hanya bisa memenuhi sebagian belanja, sisanya dipenuhi dari utang. Pertimbangan itu yang dilakukan selama budget masih defisit," tutur Scenaider.
Salah satu penyebab anggaran masih mengalami defisit, yakni belanja yang lebih besar dari penerimaan, adalah tingkat kepatuhan para Wajib Pajak. Jika penerimaan perpajakan, baik dari pajak dan bea cukai dapat optimal, maka belanja bisa dibiayai dengan porsi lebih besar yang berasal dari penerimaan negara, bukan dari utang.
"Poinnya adalah, untuk membiayai belanja tadi, logikanya kalau belanja enggak ada, utang enggak ada. Adapun utang sekarang efek dari belanja tadi. Belanja terjadi karena kebutuhan, kebutuhan untuk membangun Indonesia," ujar Scenaider.
Dari data Kemenkeu, posisi utang pemerintah pusat hingga akhir Juli 2018 sebesar Rp 4.253,02 triliun. Utang pemerintah pusat periode tersebut terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 779,71 triliun, pinjaman dalam negeri Rp 5,79 triliun.
Sementara Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sebesar Rp 3.467,52 triliun di mana SBN denominasi rupiah sebesar Rp 2.442,82 triliun dan SBN denominasi valas Rp 1.024,71 triliun. Asumsi pendapatan domestik bruto (PDB) akhir Juli 2018 sebesar Rp 14.302,21 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB mencapai 29,74 persen.
Persentase tersebut masih jauh di bawah batas 60 persen terhadap PDB seperti yang tertera dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.